Kesehatian Memperkuat Mutu Kehidupan Menjawab Tantangan Zaman (Bag. 3)
Agama dan Budaya
Alkitab sudah memberitahu kita bahwa perihal makan, minum, rumah,dan pakaian memang memusingkan manusia. Namun, seiring makin meningkat dan beragamnya pendidikan masyarakat serta semakin meningkatnya akses informasi melalui media baik konvensional maupun digital berperan meningkatkan kecerdasan masyarakat. Kecerdasan itu tentu tersambung dari pintu agama dan budaya seperti tersembul dari kearifan lokal yang bertumpu pada asset intelektual hasil pembentukan karakter. Sepanjang agama dan budaya itu tak redup, kemajuan peradaban bangsa akan terus berlanjut. Maka, sangatlah penting untuk menemukan cara baru untuk menanggulangi tergerusnya kebahagiaan dalam pusaran kemajuan/ modernisasi.
Dari sisi lintas batas garis antara modernisasi dan antargenerasi amat sulit terbantahkan secara integral bahwa pemimpin mempunyai saham membuat hidup kita lebih produktif. Bertanyalah kepada Bung Karno, Hatta, Syahrir, Yohanes Leimena, TB Simatupang, dan para pendiri bangsa lainnya, apa tugas pemimpin. Tidak lain hanyalah membahagiakan rakyatnya. Seluruh rakyat berhak menikmati distribusi adil kekayaan negeri,melalui praksis ideologis dan konstitusional secara konsisten dan kontinu dan itulah alasan kita bernegara. Pemimpin demi cinta harus berani berkorban untuk rakyatnya, “Love is not feeling, it’s comitment and above all a sacriface” -Cinta bukan hanya perasaan,itu komitmen dan yang terpenting adalah pengorbanan.
Pertanyaannya, sudahkah itu diwujudnyatakan oleh pemimpin di negeri ini, mulai dari pemimpin eksekutif, legislatif, judikatif maupun pemimpin gereja atau pemimpin organisasi politik dan sosial lainnya?
Hasrat untuk berbahagia merupakan kekuatan pendorong di dalam diri untuk menjalani kehidupan yang berarti. Teringat gerakan “make love not war” pada era dekade 1960-an. Semboyan yang terkenal pada itu: love peace. Merujuk jargon love, compassion, itu direspons dengan jambang dan rambut sepundak, pakaian warna-warni mendeklarasikan diri sebagai “flower generation” (generasi bunga) sebetulnya bukanlah aktualisasi kebahagiaan yang didamba.
Meskipun harus diakui,lagu grup band Archies yang dirilis Juli 1971 “A Summer Prayer for Peace”, masih relevan hingga kini sebagai renungan perdamaian mengakhiri penderitaan yang diakibatkan perang Rusia- Ukraina. Perang Rusia- Ukrania telah memicu krisis komoditas, baik pangan maupun energi, menjadi salah satu yang terburuk setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Dimensi kebahagiaan dari cinta dan perdamaian antargenerasi terus hidup,bergerak dalam dinamika yang terus berlanjut mengaktualisasi diri dalam kehidupan modern yang acap terkecoh juga dengan narsisme, kehidupan yang kering,digitalic, sebab budaya kosmopolit terkadang menafikan spritual berdimensi agama yang berangsur-angsur hilang.
Spiritualitas membuat masyarakat lebih mudah bahagia. Spiritualitas membuat orang bisa mengambil hikmah dan mensyukuri apa pun masalah yang dihadapi,termasuk peristiwa yang tidak menyenangkan sekalipun. Nilai -nilai spritual itu yang tidak ditemukan dalam masyarakat Barat yang mengedepankan rasionalitas. Kondisi itu didukung dengan kuatnya pandangan yang berakar pada ilmu pengetahuan dan sekularisasi yang memisahkan sains dengan agama hingga spritualitas berbasis agama atau kepercayaan itu tidak muncul dalam masyarakat Barat. Sebaliknya,berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi itu juga menggerus nilai-nilai spritualitas. Sementara orang Indonesia dikenal memiliki religiusitas tinggi,taat dalam menjalankan praktik keagamaan. Religiusitas tidak senantiasa sejalan dengan spritualitas. Karena itu,penghayatan dan pemaknaan religius perlu terus didorong dan kuatnya relasi antarmasyarakat membuat masyarakat tetap bisa merasa bahagia.
Sebagai anak-anak Tuhan kita tidak perlu khawatir akan hari esok. Ia tahu setiap keperluan kita. PesanNya adalah,” Carilah dulu Kerajaan Allah” (Matius 6:33). Allah mentransformasikan kita menjadi ciptaan baru, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).
Program Tahun Kesehatian HKBP 2022 akan berhasil jika berfokus hanya pada kasih karunia Tuhan sebagai sumber kekuatan menjadi sehati sepikir, satu jiwa, satu tujuan sehingga kita dapat bertumbuh dalam proses transformasi yang dapat membuat kita bergairah menjalani kehidupan yang berarti.