Tradisi Ziarah Berbingkai Budaya dan Agama
Demikian besar keterkaitan tanah dan manusia. Singkatnya, dari tanah manusia diciptakan dan ke dalam tanah manusia dikuburkan. Bukan hanya itu, dari awal mula dunia diciptakan sampai zaman modern sekarang ini manusia selalu membutuhkan tanah dalam membangun peradaban. “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”. (Kejadian 1:15).
Tanah di Taman Eden itu diartikan bumi tempat manusia bermukim.
Dengan demikian,Allah memberikan mandat kepada manusia sebagai pewaris bumi dengan tugas memakmurkannya. Bahkan, dalam konteks negara modern sekalipun demikian, hampir semua sektor kehidupan manusia di bumi ini tergantung dan bersumber pada tanah. Dari sanalah manusia membangun peradaban dunia yang sejahtera, aman, dan makmur, dan membangun harmoni dengan semua penghuni tanah-bumi ini,termasuk tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Karena itu, Negara mengatur peruntukan dan penguasaan tanah yang mana untuk lahan pertanian,permukiman, tempat usaha, tempat peribadatan, dan tempat pemakaman.
Terkait ikhwal kematian dan tempat pemakaman,salah satu tradisi masyarakat Batak yang tidak pernah redup adalah upacara penghormatan yang layak diberikan kepada orang yang meninggal. Upacara pelepasan, termasuk berapa lama jenazah boleh bertahan di rumah duka berelasi dengan sosial budaya dan ekonomi (hagabeon,hamoraon,dan hasangapon) orang yang meninggal.
Bahwa seseorang yang mati itu bukan binasa begitu saja,bahkan ia memiliki sejarah dan kontribusi pada kemanusiaan. Wajarlah kalau dia dikubur di satu tempat yang layak,di pemakaman umum atau pemakaman keluarga di kota maupun di kampung halaman (bona pasogit) supaya nyaman untuk diziarahi.
Seiring dengan perjalanan waktu,terjadi perubahan secara dahsyat mengubah sikap dan perilaku dalam memaknai tradisi ziarah menerobos akselerasi hidup di tengah zaman yang sudah berubah antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan.
Pada giliran masa hari raya Jumat Agung tiba,masyarakat kota bergegas meninggalkan Tanah rantau pulang ke kampung kampung halaman. Waktu itu diisi dengan ziarah ke kuburan keluarga dan kerabat yang meninggal hingga beribadah ke Gereja. Tradisi ziarah untuk menengok dan membersihkan makam keluarga dan kerabat yang sudah meninggal bukanlah hal baru,itu sudah terjadi di belahan dunia lain termasuk di Tanah Batak ribuan tahun silam.
Tetapi kini tradisi ziarah tidak lagi sederhana, sudah berevolusi kian kompleks berdampak cukup signifikan dalam konteks yang lebih besar berbingkai budaya dan agama. Terjadi pergeseran paradigmatik antara pengetahuan anatomi budaya dan telaah agama yang mengikutinya yang memberikan dampak transformatif.
Lalu tradisi ziarah seperti apa yang memberikan dampak transformatif?
Pemahaman ziarah “tempo doeloe” merekontruksi kematian sebagai akhir dari segalanya. Hal itu berubah setelah perjumpaan budaya Batak dengan Injil, kita berada di narasi mendasar teologis bahwa tujuan akhir hidup kita adalah surga,tempat Tuhan kita Yesus Kristus berada. Pemahaman ini akan kita bahas di bagian selanjutnya! (Bersambung)