Gaya Hidup Mewah Pejabat Publik Meresahkan? (Bagian 1)
Seorang psikolog berkata, “Ketenaran itu tidak salah. Setiap orang ingin ‘diakui’ dan hal itu bisa memberi kepuasan”. Keinginan untuk “diakui” berlaku untuk semua usia dan semua lapisan strata sosial. Pembeda adalah cara mendapatkan pengakuan.
Ada pengakuan yang didapat karena dia berprestasi, tetapi ada banyak orang pamer gaya hidup mewah, memiliki rumah baru, mobil baru, handphone terbaru, jalan-jalan ke luar negeri, barang branded dan harta duniawi lain untuk mendapatkan pengakuan.
Sejalan dengan tren perkembangan pasar “dunia tanpa batas negara” (a world without boders) dimensi-dimensi kehidupan pejabat publik, sosialita, dan selebritis memainkan peran penting. Bahkan, peran mereka secara substansial menjadi ikon gaya hidup mewah, hedonis, dan ketenaran dimana media sosial (medsos) memberi ruang untuk pamer menjadi orang “narsis” yang memang ada “penontonnya”. Gaya hidup narsis diperparah para isteri pejabat publik hingga urusan yang remeh temeh, sepatunya apa, bajunya apa, hingga tasnya segala merk semahal apapun ada. Seolah tidak bisa bersosialisasi kalau tidak modis.
Ini bukan saja soal ketenaran lagi, tetapi bagaimana memperlihatkan aktualisasi diri di panggung “sosialita”. Karena itu, mereka membutuhkan, busana beragam warna dan model, serta asesoris sekaligus penanda status sosial. Bagi mereka, apa yang dikonsumsi atau dibelanjakan akan mencerminkan identitas.
Kita memang berhadapan dengan dunia yang cemas, situasi yang tidak memiliki humor yang baik, dimana banyak hal yang tidak masuk akal dan tidak sedikit kalangan yang mengalami perburukan terhadap jiwa konsumerisme. Secara khusus pengalaman belanja online (daring) dengan tampilan visual yang sangat gencar memborbardir dan sukses menangkap pasar dan berhasil memenuhi kebutuhan para sosialita.
Publik sudah kerap mengritik, bukan hanya gaya hidup mewah yang jadi soal. Tapi, dari mana kekayaan itu diperoleh? Bagaimana menjelaskan kepemilikan si pejabat yang mungkin tak sesuai dengan pendapatan resmi yang diterima? Sayangnya, banyak hal tak masuk logika antara besarnya pendapatan dengan pengeluaran, yang mana sesungguhya dua hal tersebut saling terkait.
Karena itu, tidak sedikit pihak yang menyoroti sifat hedonis atau stigma negatif yang dilekatkan kepada pejabat publik dimaksud. Bahkan, terkait ikhwal ini, Presiden Joko Widodo pun turun tangan, memberi kritik dan otokritik yang keras kepada gaya hidup mewah yang ditunjukkan anggota Kepolisian Negara RI yang belakangan ini menjadi sorotan. Soal gaya hidup mewah anggota Polri rupanya tak hanya membuat masyarakat resah, tetapi juga Presiden Joko Widodo.
Presiden akhirnya memberikan pengarahan kepada para Perwira Polri, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), dan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) se- Indonesia yang digelar tertutup di Istana Negara, pada Jumat, 14 Oktober 2022. Pengarahan itu diikuti 559 pejabat utama Polri, Kapolda, Kapolres dan Kapolrestabes yang diunggah akun Youtube Sekretariat Presiden untuk mengerem gaya hidup mewah.
Presiden menyoroti gaya hidup mewah polisi yang terkesan tak memiliki empati terhadap rakyat yang tengah dilanda kesulitan ekonomi. Presiden khawatir gaya hidup mewah yang diperlihatkan di tengah situasi ekonomi tak menentu akan menimbulkan kecemburuan sosial dan letupan-letupan di masyarakat.
Terkait hal ini Kepala Polri, Jenderal (Pol) Listyo Sigit Parbowo meminta semua anggota di institusi yang dipimpinnya untuk mengubah perilaku dengan meninggalkan gaya-gaya kehidupan hedonis.
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa gaya hidup mewah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pejabat publik melakukan pelanggaran. Gaya hidup mewah menjurus kepada perbuatan tercela yang tidak bermartabat serta melawan hukum. Misalnya, korupsi atau penyelewengan dana publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Mengingatkan betapa pentingnya pejabat publik mengingat sumpah jabatan dan komitmennya harus melayani dan melindungi rakyat. Mereka tak boleh sewenang-wenang, konsumtif, hedonis, bergaya hidup mewah, dan congkak. Namun, realitasnya sumpah jabatan yang sakral itu dianggap angin lalu, serta mereka pun mengingkarinya.
Kita lihat bagaimana polisi berbintang dua bisa tersangkut kasus narkoba. Kita lihat bagaimana gaya hedonis yang ditampilkan para pejabat, politisi, dan pejabat lainnya di media sosial (medsos). Akibatnya fatal, dan destruktif, serta meresahkan publik.
(Bersambung)