Rumah Melintas Zaman Sebagai Tempat Berlindung yang Membahagiakan (Bagian 1)
Rumah adalah tempat berlindung yang memberikan manfaat kesehatan fisik dan mental serta memberi kebahagiaan. Bahagia merupakan cerminan baiknya kondisi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Negara- negara di dunia berlomba mengejar pertumbuhan ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan warganya guna mengecap kebahagiaan. Kesejahteraan diraih dengan meningkatkan pendapatan rakyatnya sebagai konsekuensi logis memenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan, dan papan. Warga masyarakat dapat menentukan pilihan dan kendali hidup lebih positif, bahagia, dan produktif.
Ketika kata “papan” muncul, hal pertama yang kita pikirkan adalah properti bangunan tempat kita tinggal yang disebut rumah.
Apakah itu rumah tapak (landed house), apartemen/rumah susun, rumah toko (ruko) atau rumah kebun. Beberapa catatan Alkitab menunjukkan adanya relasi kebahagiaan dengan ekspektasi rasional untuk memiliki rumah, “Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya” (Yeremia 29:5). “Mereka akan mendirikan rumah-rumah dan mendiaminya juga, mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan memakan buahnya juga” (Yesaya 65:21). Hal tersebut berkaitan dengan tiga aspek yakni menjaga hubungan yang harmonis antara kita dengan Sang Pencipta, kita dengan sesama manusia, serta kita dengan alam lingkungan. Titik singgung antara rumah dan alam lingkungan bisa berada pada angle yang positif maupun negatif “Tetapi aku dengan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN” (Yosua 24:15) dan di luar Yesus Kristus kita tidak mampu berbuat apa-apa (1 Yohanes 3:24).
Rumah memiliki makna aktivitas untuk menempa karakter seseorang
Tempat kita berdiam diri, bersosialisasi dan beraktivitas sesuai nilai-nilai moral, dan agama. Namun, titik singgung antara rumah dengan kekerasan dalam kasus-kasus tertentu bisa berada pada angle negatif. Ketika persoalan ekonomi melahirkan label kemiskinan, bisa merambat ke masalah seseorang berperilaku liar berlanjut ke tindakan “kekerasan” yang tingkat kegaduhan sudah bisa kita tebak. Lalu dalam kepanikannya memprovokasi untuk mengganggu ketertiban umum. Sementara di sisi lain, para ilmuan menemukan ada tiga kelas ekonomi berbeda. Anak dapat bermasalah mendapat kekerasan karena keterbatasan akses akan kebutuhan dasar yang dialami keluarga ekonomi rendah. Lalu, proteksi berlebihan kepada keluarga menengah, dan kebebasan berlebih dari keluarga mapan, membuat mereka dekat dengan kekerasan, termasuk pula kegundahan di era limpahan informasi di era internet dengan konten-konten berbau kekerasan dan konten beracun yang mudah diakses itu. Maka panggilan kita adalah melakukan apa yang kudus, bukan yang cemar dengan kekerasan. Kita mau dan berupaya membuat rumah sebagai mezbah doa (langgatan partangiangan) agar Roh Kudus memampukan kita untuk hidup kudus.
Melalui rumah dan lingkungan sosial,dengan sentuhan-sentuhan peradaban yang humanis membuat hidup diwujudnyatakan untuk rasa aman dan tenteram. Rumah aman dan tenteram sebagai tempat keluarga yang dipersatukan di dalam dan oleh kasih Allah dalam mendapatkan kebahagiaan. Disinilah pentingnya rumah sebagai pembinaan etika dan moral untuk meningkatkan kekuatan dan ketajaman nurani/ suara hati sebagai fondasi dari karakter. Pada umumnya, di rumahlah para orang tua memberi contoh dan praktik mengenai kebajikan, keteladanan, kejujuran, sikap adil, dan memenuhi tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Ketenteraman hidup bahagia diraih dari keteguhan memuliakan Tuhan di dalam menjalankan kehidupan yang bermakna (meaningful life) dan tujuan hidup dalam dekapan cinta kasih. Keluarga harmonis dan berdampingan penuh kasih, dengan saling menghargai satu sama lain menjadi hal penting yang paling dirasakan. Di rumah kita bisa berkebaktian, berdoa, menaikkan pujian syukur dengan nyanyian kudus. Pada akhirnya nilai-nilai seperti peduli, empati, dan toleransi dapat terjaga dan terpelihara.
Konstitusi telah mengamanatkan agar Indonesia berada di jalur negara kesejahteraan (Welfare State). Hakekat ini berbeda dengan “Welfare Capitatalism” yaitu sistem yang merekayasa ambisi liberalisme pasar agar tumbuh beriringan dengan semangat redistribusi yang diatur negara. Fondasi sosial bercirikan individualisme, diatur/ dibangun atas dasar paham materialisme.
Gejala masyarakat di negara kesejahteraan (welfare state) dihubungkan dengan nilai-nilai kultural dan etika yang mendasari masyarakat peduli, berbagi, dan bergotong royong. Fenomena ini bukanlah hal yang baru. Mereka yang masuk dalam generasi “sandwich” misalnya, harus rela membagi pendapatannya kepada keluarga dengan proporsi yang mungkin lebih besar dari setengah pendapatan bulanan.
Negara- negara yang masuk peringkat tertinggi dalam Laporan Kebahagiaan Dunia (WHR) 2023 adalah negara dengan pendapatan per kapita tinggi. Dari 137 negara yang disurvei, kebahagiaan teratas tercatat Finlandia, Denmark, Eslandia, Swiss, dan Belanda. Sedangkan Indonesia ada di peringkat 84. Finlandia menawarkan kualitas hidup yang luar biasa bagi penduduknya. Kondisi kesehatan, perumahan,pendidikan, dan stabilitas politik yang tinggi di negara itu menghasilkan suasana membahagiakan untuk tinggal dan berkembang.
Keinginan memiliki rumah adalah kapasitas intrinsik yang ada dalam diri manusia untuk mecari makna dan tujuan hidup bahagia dan sejahtera.
Pemenuhan janji perumahan kepada semua lapisan masyarakat termasuk wong cilik, yang memprioritaskan keadilan dan kesejahteraan rakyat sebagai standar tertinggi dalam pelayanan publik. Mengubah Indonesia menjadi sebuah negara sejahtera (Welfare state) dengan prinsip keadilan sosial untuk semua (social justice for all) dengan pemenuhan perumahan pada jutaan rakyat di berbagai pelosok Tanah Air.