Perdagangan Orang Musuh Segala Bangsa (Bagian 3)
TPPO yang Tak Kunjung Sirna
Kita pasti tidak asing dengan cerita perdagangan orang dan perbudakan di dalam Alkitab. Salah satu orang yang pernah mengalami perdagangan orang adalah Yusuf . Kisah ini tentang perseteruan Yusuf dengan semua saudara-saudaranya, kecuali Benyamin, akhirnya dia dijual ke tanah Mesir menjadi budak karena iri hati dan keegoisan saudara-saudaranya sehingga ia menderita (Kej.37).
Nabi Yeremia memperingatkan umat Yehuda atas kefasikan mereka yang besar. Dinubuatkan bahwa karena dosa dan pelanggaran yang dilakukan, maka Tuhan akan mengijinkan mereka menjadi budak (Yeremia 17:4).
Terinspirasi dari kedua kisah diatas, kita sebagai orang percaya, harus melakukan segala hal yang baik dan benar agar terhindar dan terbebas dari hukuman Tuhan. Jauhkan segala perbuatan perbudakan dan perdagangan orang yang menyakiti hati Tuhan dan mendatangkan murka Nya sehingga kita terberkati secara fisik dan rohani.
Ternyata,perdagangan orang/TPPO merupakan masalah kemanusiaan yang tak kunjung sirna di seantero negeri. Apalagi ketika masalah kemiskinan mendera, kesenjangan ekonomi berkelindan dengan masalah politik yang melahirkan oligarki, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan serta berbagai bentuk eksploitasi yang mengarah ke perbudakan. Maka ketika membicarakan diksi “perbudakan” seperti melangkah ke lorong waktu di masa lampau kita seperti pemazmur bertanya, “dari manakah datang pertolonganku?” (Mazmur 121).
Kondisi ini harus ditangkal dengan pemberdayaan masyarakat sinergi dengan aparat penegak hukum.
Kapitalisasi kesadaran publik dari bawah perlu direspons dengan kebijakan publik yang kuat dan jelas dari atas, amatlah penting, bahkan mendesak. Intinya, pengiriman tenaga migran ke luar negeri tidak membuat masalah, aparat juga tidak bermasalah.
Kita masih optimistis bahwa TPPO ini masih bisa diberantas jika rakyat dan aparat memiliki pijakan kuat sehingga semua hal-hal yang membelenggu perdagangan orang ke depan harus dibenahi.
Pertama,kualitas pejabat publik /aparat harus memiliki “inner morality” yang merefleksikan spirit melayani publik dengan motto “Melayani bukan Dilayani”( Mark.10:45) bukan hanya narasi, tetapi aksi. Mengingat kepemimpinan pejabat publik/ aparat sekarang ini ditengarai justru feodalistik, serta berorientasi pada kepentingan diri sendiri dengan orang lain yang akgirnya menimbulkan rasa tidak puas diri dan memunculkan iri hati.” Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang” (Amsal 14:30)
Kedua, untuk tumbuh menjadi satu bangsa yang kuat, menuju negara maju pada 2045 perlu meyiapkan lapangan kerja atau mengurangi penganguran; mengendalikan harga barang dan jasa, serta mengatasi kemiskinan jadi tantangan. Hikmat Tuhan mengajarkan kepada kita segala yang baik kita lakukan dan segala yang tidak baik untuk kita hindari.
Ketiga, melakukan pemonitoran dan rencana aksi untuk mencegah pekerja migran Indonesia yang kini sudah “over-supply” membanjiri pasar kerja di pasar Internasional melalui pasar ilegal agar diberantas tuntas karena menghadapkan tenaga kerja/ PMI pada berbagai persoalan baru.
Sementara itu perasaan, kekuatan pikiran dan tujuan akan dibangkitkan kepada kegiatan pembangunan manusia yang sungguh-sungguh berselaras dengan hikmat ilahi. “Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian” (Amsal 3:13). Orang yang lapar akan pengetahuan agar mereka dapat membahagiakan sesama manusia, dengan sendirinya menerima berkat dari Allah. Hikmat ilahi untuk memberikan kita tuntunan yang paling tepat di situasi-situasi sulit dan mendesak. Firman Tuhan sendiri tidak mengabaikan langkah-langkah kerja keras, pendidikan dan pelatihan. Namun, lebih daripada itu,firman Tuhan menekankan pentingnya hikmat ilahi. Sebab,Bapa kita di surga adalah sumber kehidupan, hikmat, dan sukacita. Sesungguhnya wujud iman sejati tampak dari cara kita memandang dan memberlakukan sesama. Benar bahwa bekerja adalah aktivitas yang diberkati, benar bahwa kita perlu menjadi seorang pekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri, tetapi kita perlu hikmat Tuhan menghadirkan kebaikan untuk menyelesaikan berbagai persoalan.
Kita menyadari banyak sekali orang pintar dalam bidangnya masing-masing di negeri ini. Menentukan cara orang dan bereaksi positif terhadap lingkungan sekitarnya yang oleh Maslow disebut kebutuhan dasar manusia. Namun, harus diakui dengan perut kenyang baru kita bisa berpikir jernih dan hidup bermartabat dan berkeadaban. Sayangnya, budaya kita gemuk dalam informasi, namun tipis dalam kebijaksanaan (Fat on information but thin on wisdom) sehingga acap membuat pilihan-pilihan yang buruk dan keliru pada pembangunan manusianya. Anatomi persoalan sudah lama diidentifikasi, tetapi pembenahan mengurai benang kusut TPPO tak pernah terjadi. Godaan keegoisan adalah godaan yang perlu kita kalahkan untuk mengikuti teladan Yesus yang selalu mementingkan kepentingan orang lain. Maka ketika kita bersikap seperti anjuran Rasul Paulus, “Janganlah melakukan sesuatu karena didorong kepentingan diri sendiri” (Filipi 2:3) semakin relevan untuk dipraktikkan. (Bersambung)