KEHIDUPAN BERAGAMA DAN BERPOLITIK DALAM ALAM DEMOKRASI (BAGIAN 4)
Jalan Terjal Penuh Liku Menuju Demokrasi Indonesia
Namun, jika melihat sejarah perjalanannya, kita bisa melihat jalan terjal penuh liku menuju Demokrasi Indonesia. Pernah ada Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) pada masa Orde Lama melalui proses Demokrasi Terpimpin dalam perpolitikan kita. Kita bisa mengarahkan telunjuk kepada sesuatu penyusupan doktrin asing (liberal dan Komunis), yang kelihatan ketiganya dipaksakan harmoni di ruang publik.
Di luar itu, tentu saja sudah banyak catatan penting tentang kelompok ateisme,agnotisisme, atau non-agama di pihak lain. Yang lain adanya proses menurunnya religiositas masyarakat karena proses intelektualisasi dan rasionalisasi atas teks, ajaran, dan doktrin, dan diskursus Agama yang dipandang tak sesuai lagi dengan spirit-sains-common sense atas pengetahuan, kemodernan, dan perubahan zaman.
Begitu juga pada rezim Orde Baru, melalui proses politik yang disebut Demokrasi Pancasila, penyebab munculnya politik otoritarian- dimana represi politik melalui tangan besi mengemuka. Tumbangnya Orde Baru di awali krisis ekonomi 1997 dan Gerakan Reformasi 1998, melahirkan pemilu pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang langsung umum bebas dan rahasia (luber) jujur dan adil (jurdil), “one man, one vote” diharapkan mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat. Salah satu yang penting dalam era Reformasi ini adalah dibebaskannya rakyat Indonesia untuk mendirikan partai politik tanpa batasan, kendati pada akhirnya yang lolos ambang batas parlemen atau yang lolos ke Senayan hanya berkisar sampai 9 parpol saja. Langkah lainnya juga diikuti pembentukan lembaga penting seperti KPK, MK yang sejalan dengan tuntutan Reformasi agar penyelenggara negara bersih dari praktik-praktik kotor seperti KKN sehingga dinamika politik dan ekonominya harmoni, terukur, sehat dan tertib.
Sejak era Reformasi itulah, kita sebagai bangsa sudah memilih jalan Demokrasi. Tidak ada lagi “political U-turn” atau putar balik dari jalan itu. Berkomitmen untuk menjaga prinsip dan tatanan demokrasi, menegakkan kepastian hukum dan menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif. Menghadapi situasi semacam ini harus ada langkah sederhana agar tidak lepas kendali yaitu mengembangkan etik mengendalikan diri (the ethics of self-restrain) terutama di kalangan tokoh, pejabat publik, cendekiawan, rohaniawan, selebritas dan masyarakat. Seperti halnya tubuh yang membutuhkan makanan, begitu pula jiwa manusia membutuhkan lorong spiritual, kasih kepada Tuhan dan sesama sebagai asupannya supaya tercipta karakter bangsa yang bermartabat di alam demokrasi.
Periode 2024-2029 kita memasuki pemerintahan baru, adalah “the golden moments” yang begitu berharga untuk menata masa depan demokrasi menyongsong Indonesia Emas 2045.
Hal itu bisa diwujudkan oleh pemimpin yang visioner, berintegritas, kredibel dan akuntabel, dalam menegakkan hukum yang adil yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tersedianya lapangan kerja, dengan sumber daya manusia (SDM) berpengetahuan unggul untuk mengelola sumber daya alam (SDA) melimpah. Indonesia membutuhkan investasi besar untuk memacu pertumbuhan ekonominya keluar dari orbit stagnasi 5 persen yang telah berlangsung selama 10 tahun terakhir.
Pascaputusan Mahkamah Konstitusi terpilihnya penerintahan baru, Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden/ Wakil Presiden 2024-2029 punya tantangan yang berat untuk mengembalikan kepercayaan publik. Antara lain, dengan menunjukkan kinerja pemerintah terbebas dari kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pilihan untuk membentuk Kabinet “Zaken” yaitu kabinet yang dibentuk berdasarkan keahlian atau kecakapan menteri yang ditunjuk, yang berasal dari kalangan profesional dan bukan representasi dari partai politik tertentu. Janji pembangunan SDM pada masa mendatang harus benar-benar diwujudkan.
Rancang bangun kelembagaan partai politik (parpol) pasca pemilu agar menghindari hasrat “pragmatis” yang menghendaki kekuasaan yang besar dengan membangun ” tenda besar politik” di Parlemen bisa jadi akan menumpulkan akal sehat intelektual kita dan menjadikannya sinisme terhadap kelangsungan demokrasi.
Padahal, secara empiris negara yang makmur, solid, dan sejahtera itu adalah negara-negara yang memiliki mekanisme Checks and Balance, dimana tidak semua parpol menjadi bagian dari pemerintah. Selanjutnya dalam jagat perpolitikan selalu ada koalisi pendukung pemerintah, dan koalisi oposisi sebagai penyeimbang disana. Sebab, kekuatan demokrasi akan berjalan dengan baik jika ada kontrol di luar pemerintahan dan mengawasi Presiden.
Oleh sebab itu, kita perlu membangun atau meng-install ulang ikhwal kesadaran checks and balance itu agar pemerintahan demokrasi berjalan baik dan efektif. Mendorong transformasi pembangunan karakter bangsa yang bermartabat,agar kita bisa keluar dari persoalan antara sistem presidensial dan rancang bangun kepartaian yang multipartai membawa tantangan yang tidak bisa dinafikan begitu saja.
Dukungan Parlemen tentukan nasib demokrasi. Kegelisahan mulai muncul setelah melihat besarnya potensi tergerusnya politik nilai (politics of value) dalam memahami jagat demokrasi perpolitikan kita. Hal itu tampak terlihat dari suasana terkini,sebagian besar parpol diatur oleh satu norma tunggal “pragmatisme” sebagai kompas demokrasi. Sementara, yang tak kalah penting adalah harapan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi dambaan kita bersama. Karena itu, tantangan kedepan bagaimana membangun pemerintahan yang efektif dan kuat untuk memastikan pembangunan nasional bisa dicapai tanpa mengorbankan masa depan demokrasi. (Selesai)