Penguatan Politik Kebangsaan Indonesia.
Bagian 2.
Kesederajatan Manusia.
Manusia memiliki martabat yang sama, yaitu martabat manusia; manusia menerima martabat yang sama ini bukan karena keturunan, tetapi langsung dari Pencipta, sama seperti manusia pertama. Kehidupan di masa lampau, waktu jumlah manusia masih sedikit dan kehidupannya masih sederhana, sebelum muncul penguasa-penguasa, nilai kesetaraan berlaku dan diyakini kebenarannya. Kalau mereka membutuhkan seorang atau beberapa orang pemimpin, mereka akan memilihnya, dan mempercayakan kekuasaan kepada pemimpin tersebut; pemimpin ini memimpin masyarakat menyusun berbagai peraturan yang akan mereka taati bersama-sama. Tetapi dalam perjalanan sejarah selanjutnya, banyak di antara pemimpin ini menjadi otoriter dan mewariskan kekuasaan kepada keturunannya. Dan kalau hal ini berlangsung dalam waktu lama, dari satu generasi ke generasi berikutnya, terjadilah hirarki sosial, dengan terbentuknya kelas pemerintah dan kelas masyarakat biasa yang harus bersedia diperintah; nilai kesetaraan dibuang untuk waktu lama.
Perjuangan kesederajatan manusia di era modern, dimulai di Barat pada Abad Ke-16. Martin Luther memulainya dengan doktrin Imamat Am Orang Percaya, 1 Petrus 2: 9. Suatu ide yang diterima luas dalam Reformasi Protestan adalah bahwa orang Kristen dipanggil untuk melayani Tuhan di dunia. Ide ini memberi motivasi bagi banyak orang untuk mengabdikan diri dalam kehidupan sehari-hari. Para reformator menentang pembedaan dalam Abad Pertengahan, antara “yang suci” dan “yang sekuler”. Semua orang Kristen adalah imam dan tugas panggilannya meluas sampai ke kehidupan sehari-hari. Luther mengembangkan doktrin Imamat Am Orang Percaya”, dalam risalahnya yang terkenal pada tahun 1520, kepada para Pangeran Bangsa Jerman menyatakan:….. Semua orang Kristen benar-benar dari tingkatan spiritual dan tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali dalam soal jabatan. ……. Kita semua adalah imam-imam yang telah dikuduskan melalui baptisan, seperti yang dikatakan oleh Rasul Petrus dalam I Petrus 2: 9. Luther berpegang teguh, bahwa perbedaan itu murni dalam hal jabatan, bukan status. (Alister E.McGrath, 2006, Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta, Penerbit PT. BPK Gunung Mulia, hal 267).
Pada Abad Ke-18, perjuangan ini dilanjutkan oleh Thomas Paine dengan doktrin Manusia Gambar Allah, Kejadian 1: 26-27. Thomas Paine dalam bukunya berjudul Daulat Manusia, mengungkapkan bahwa hak kodrati manusia perlu dilacak sampai ke saat penciptaan manusia, yaitu prinsip Ilahi bahwa hak kodrati manusia adalah sama, sebab persamaan itu berasal dari Pencipta manusia. Semua manusia hanya memiliki satu derajat, oleh karena itu semua manusia dilahirkan sama dengan hak kodrati yang sama, seolah-olah setiap generasi adalah ciptaan Tuhan, dan sumber kehidupan setiap bayi adalah Tuhan sendiri. Generasi yang satu dihubungkan dengan generasi selanjutnya bukan oleh keturunan tetapi oleh penciptaan Tuhan. Hak-hak kodrati manusia diterima oleh setiap manusia dalam kualitas dan kuantitas yang sama, langsung dari Tuhan, melalui penciptaan, bukan melalui keturunan. Konsekwensi dari pemikiran ini, hak-hak kodrati manusia tidak ada hubungan dengan garis keturunan. Paine juga mengungkapkan bahwa salah satu kejahatan besar yang dilakukan oleh semua Pemerintah di Eropa adalah menjauhkan manusia dari Penciptanya.
Dari pemikiran di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: manusia mempunyai derajat yang sama, yaitu derajat manusia, dengan hak kodrati yang sama. Manusia mendapat derajat dan hak yang sama ini bukan karena keturunan, tetapi langsung dari Pencipta, sama seperti manusia yang pertama. Hak kodrati manusia, yang kemudian disebut hak asasi manusia antara lain hak hidup, hak kebebasan, hak milik, dan hak mengupayakan kebahagiaan. Kesamaan derajat manusia juga berakibat, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara semua manusia berhak ikut serta menentukan kehidupan bersama itu, dan untuk itu semua manusia berhak menyampaikan pemikiran dan kepentingannya di depan umum. Dan kondisi seperti itu hanya dapat terjadi kalau semua manusia mempunyai hak kebebasan, antara lain kebebasan berpikir, berkeyakinan dan mengemukakan pendapat di depan umum. Negara yang mengakui dan menjalankan kesederajatan manusia adalah negara-bangsa yang demokratis, seperti Rpublik Indonesia.
Kaum Penghayat Kepercayaan di Indonesia adalah bagian dari rakyat Indonesia, yang sangat menderita akibat perlakuan negara yang tidak adil terhadap mereka. Kaum Penghayat Kepercayaan tidak memperoleh hak-hak yang seharusnya menjadi milik mereka, antara lain: negara tidak mengakui akta perkawinan yang dikeluarkan oleh Pengahayat Kepercayaan; negara tidak menyediakan tempat pemakaman umum bagi kaum Penghayat Kepercayaan, dan masyarakat sering mengganggu upacara pemakaman yang diselenggarakan kaum Penghayat Kepercayaan; negara tidak memperbolehkan warga Penghayat Kepercayaan mencalonkan diri menjadi pejabat negara; dan negara tidak memperbolehkan warga Pengahayat Kepercayaan menjadi pegawai negeri, baik sipil maupun militer. Dan masih banyak kebijakan dan sikap diskriminatif yang dilakukan negara dan warga masyarakat lainnya, yang membuat saudara kita ini sangat menderita di tanah airnya sendiri; tanah air yang di berikan Tuhan kepada kita semua, termasuk kaum Penghayat Kepercayaan.
Tetapi kekeliruan ini telah dikoreksi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 telah memutuskan, bahwa dalam perkataan “agama” dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan termasuk “kepercayaan”, dan oleh karena itu Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dimasukkan ke dalam kolom agama Kartu Tanda Penduk, Kartu Keluarga dan berbagai dokumen kependudukan lainnya. Dan dengan demikian hak-hak warga Penghayat Kepercayaan sama dengan hak-hak penganut Agama. Ini juga berarti, benteng terakhir diskriminasi di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia telah dirobohkan. (Bersambung)