Keterkaitan Kemiskinan Antara Persoalan Ekonomi Dan Politik

 Keterkaitan Kemiskinan Antara Persoalan Ekonomi Dan Politik

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2024, yaitu Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James Robinson, melihat keterkaitan kuat antara persoalan ekonomi dan politik. Upaya mengatasi kemiskinan itu tak semata ditunjang oleh faktor ekonomi, tetapi juga sangat tergantung pada faktor non-ekonomi, utamanya politik. 

Dalam bukunya, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012) ketiga pemenang Nobel itu mengatakan, jika ekonomi dibangun hanya menguntungkan segelintir orang dan disetir oleh oligarki tertentu, hal itu akan membuat negara terus dalam kondisi miskin. Ketiga pemenang Nobel itu menyebut sistem ini dengan istilah extractive institution atau institusi yang ekstraktif. Perlu diketahui bahwa hampir di seluruh dunia hal ini terjadi seiring dengan penguasaan sumber daya ekonomi yang terkonsentrasi secara global.

Menurut World Inequality Report 2022 tampak terlihat, 10 persen kaum terkaya disebut menguasai 76 persen dari keseluruhan kekayaan di dunia. Tak heran jika ketimpangan ekonomi mencolok tercermin dalam statistik perekonomian negara-negara tergolong kaya seperti Amerika Serikat (AS), maupun di negara berkembang seperti Indonesia.

Konsentrasi kekayaan seperti itu membuat membuat segelintir orang mempunyai kemampuan berlebihan/ tinggi yang lazim dirujuk dengan sebutan ” oligarki”untuk memengaruhi berbagai institusi pembuat keputusan, menguasai partai politik (parpol) dan membentuk opini publik lewat media arus utama maupun media sosial. Dalam perspektif ini, baik AS maupun Indonesia peranan oligarki dilihat secara kasatmata meski dalam bentuk dan hasil proses sejarah berbeda.

Di Indonesia,walaupun reformasi telah membawa demokratisasi tetapi masih menunggu tindakan nyata bagi industri ekstraktif perusak hutan dan lingkungan yang menjadi basis ekonomi oligarki, terlepas dari retorika populis tentang makan bergizi gratis, yang banyak diberitakan. Apabila birokrasi tidak dapat dibenahi secara utuh dan tidak terhindar dari intervensi politik dan oligarki,pelayanan publik  tidak akan optimal dan efektif karena tergoda pada masalahan yang akut yaitu korupsi. Jangan pula dikira bahwa, pengentasan warga dari kemiskinan bisa selesai dengan seruan atau slogan untuk bekerja keras dan bantuan sosial (bansos).

Di Indonesia, mereka yang miskin itu justru banyak bekerja sangat keras. Mereka bekerja dari pagi hingga sore, siang dan malam serta bekerja 7 hari dalam seminggu. Tetapi sistem nasional dan global tetap membuat mereka tidak bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2023 menunjukkan NTT merupakan propinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi ketiga di Indonesia. Angka kemiskinan kita masih cukup tinggi dan gap antara yang kaya dan miskin masih jauh. Adapun kemiskinan di NTT diantaranya disebabkan lahan kering, dan tidak adanya air/ kekeringan yang melanda persawahan mereka. Ditambah lagi keterampilan sumber daya manusia (SDM)-nya kurang profesional atau keterampilan teknis yang kurang. Akibatnya, banyak warga NTT menjadi pekerja migran di luar negeri.Namun, disana mereka mendapat kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi karena dituding para majikannya tidak bekerja secara profesional (un-skilled). Tragisnya, pekerja migran itu banyak pulang ke Tanah dengan terbungkus peti mati. 

Terkait dengan hal diatas, pengentasan warga dari kemiskinan diperlukan upaya yang bersifat struktural dan kultural. Dengan penguatan demokrasi,dan pemberantasan korupsi, negara seharusnya menegakkan supremasi hukum, supaya orang berani berinvestasi di Indonesia dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Jangan sampai slogan, ” it’s economy, it’s the oligarchy”.

Untuk mengatasi kemiskinan ini,Presiden Prabowo Subianto menekankan komitmen  diperlukannya perdamaian dan stabilitas. Hal ini disampaikan Presiden Prabowo dalam KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil, Senin (18/11/2024). KTT G20 mengangkat tema “Fight against Hunger and Poverty“. Menyerukan aksi global mengatasi kemiskinan dan kelaparan global.

Isu kemiskinan dan kelaparan adalah masalah ekonomi yang tak bisa dipisahkan dari masalah geopolitik. Presiden Prabowo mengakui di KTT tersebut bahwa kemiskinan di Indonesia masih persoalan serius, 25 % anak kelaparan setiap hari. Karena itu, perlu didorong kerjasama yang inklusif dan responsif terhadap isu-isu global. Dan, pentingnya memperkuat hubungan antarnegara dalam menghadapi tantangan global.

Untuk bisa berkontribusi pada aliansi global untuk melawan  kemiskinan, menurut Presiden Prabowo upaya swasembada pangan dan makan bergizi gratis bisa menghela pertumbuhan ekonomi agar  Indonesia bisa sejahtera . 

Wacana swasembada pangan (food self-sufficiency) menguat di era pemerintahan Prabowo untuk 4 tahun kedepan melalui program pencetakan sawah, food estate, revitalisasi irigasi dan bendungan, transformasi pertanian tradisional ke modern, pengembangan benih unggul, dan pelibatan petani milenial.

Meskipun program pencetakan sawah dan food estate terkesan ambisius dengan swasembada  beras pada 2028 dimana pemerintah tidak lagi mengimpor beras terasa sulit mencapainya.

Namun,ini adalah langkah penting untuk memastikan Indonesia dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, bahkan berpotensi menjadi pengekspor produk pertanian di masa depan. Dikandung maksud, hal tersebut untuk merespons perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia sekaligus menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.

Memang,selama 10 tahun belakangan ini, kita memiliki pertumbuhan ekonomi hanya seputar 5 % tanpa dibarengi penciptaan lapangan kerja yang kurang signifikan. Penciptaan lapangan kerja dapat memacu kerja keras berbagai pihak untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.Terlebih lagi jika kita bermimpi negara makmur, adil, damai dan sejahtera yang secara visioner telah dirumuskan para pendiri bangsa dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Revitalisasi pertanian seyogianya tidak hanya fokus ke swasembada beras, tetapi juga swasembada jagung, kedelai, gula dan daging dan susu sapi.

Di era pemerintahan 10 tahun sebelumnya, semua program swadembada tersebut diatas mengalami kegagalan. Harapannya, di era pemerintahan Prabowo, ketahanan pangan menjadi kenyataan, dengan  demikian ke depan akan membawa kemakmuran dan kehidupan yang lebih baik.

Memperkuat ketahanan pangan Indonesia, serta mengelola dinamika geopolitik dan ekonomi menjadi pendekatan baru di era globalisasi.  “Perjalanan ribuan mil dimulai dari langkah pertama”. Ungkapan yang dilontarkan filsuf Tiongkok, Konfusius ini sebenarnya ingin mengatakan, segala sesuatu dimulai dari keberanian mengambil keputusan. Keputusan Presiden untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepan sekitar 8 persen layak diapresiasi. Meskipun dirasa tidak cukup menyerap tenaga muda yang setiap tahun masuk ke bursa pasar tenaga kerja. Idealnya, Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi dua digit, diatas 10 persen untuk menyerap tenaga kerja yang bertambah setiap tahun. Hal ini untuk memindahkan pekerja sektor informal, penganggur dan kelompok miskin.

Tetapi dengan pertumbuhan ekonomi 8 persen tergambar jelas  kesulitan lapangan kerja dalam negeri sehingga  akan memicu terulangnya  migrasi/ pekerja migran ke mancanegara, namun ikhtiar pertumbuhan ekonomi delapan persen dan optimistis akan meningkat seiring perjalanan waktu mesti didukung sepenuhnya. (Bersambung).

Related post