Imajinasi Kolonial Tantangan Perekonomian Kita (Part II)

 Imajinasi Kolonial Tantangan Perekonomian Kita (Part II)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Menarik Pajak dalam mendukung Perekonomian

Pada masa kekaisaran Romawi, hampir seluruh dunia berada dibawah kekuasaannya, dan setiap negara jajahan wajib membayar pajak. Kaisar Romawi menempatkan gubernur-gubernur memerintah  di berbagai daerah jajahan, termasuk di di wilayah Israel untuk membayar pajak.  Pernah ada 13 gubernur memerintah di Israel,salah satu yang terkenal adalah Pontius Pilatus yang menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus. Sedangkan gubernur yang terakhir bernama Gessius Florus (64-66 M). Ia adalah seorang pejabat yang lalim dan rakus. Ia datang ke wilayah Yahudi untuk memungut pajak tinggi yang membebani rakyat. Ketika ia berkuasa perampok dan penyamun merajalela dan secara diam-diam mereka berbagi jarahan.

Tentang Pajak, Florus menetapkan berbagai jenis pajak diantaranya, pajak tanah, pajak penghasilan, pajak jual-beli barang, pajak kereta barang dan kereta beroda, pajak memasuki pasar, dan pajak memasuki pelabuhan. Untuk kelancaran pemungutan pajak , maka Florus juga memanfaatkan orang Yahudi menjadi para petugas pajak yang dikenal dengan sebutan pemungut cukai. Para pemungut cukai ini sangat rakus. Mereka menetapkan pajak yang tinggi yang membuat rakyat menderita. Bahkan, pemungut cukai ini sering memungut lebih besar dari yang ditetapkan. Di satu sisi rakyat menderita namun di sisi lain pemungut cukai jadi kaya raya. Hal ini membuat orang Yahudi sangat benci kepada para petugas pajak ini sehingga mereka sebut orang berdosa.

Hukum Yahudi melarang para pemungut cukai memasuki synagoge. Mereka juga dilarang untuk menjadi saksi perkara apa pun, serta mereka dimasukkan ke dalam kelompok “para perampok dan pembunuh” (Matius 1-10). Karena itulah, seorang Yahudi tidak boleh bergaul/ bersahabat, apalagi makan bersama dengan pemungut cukai. Kebencian orang Yahudi kepada para pemungut cukai inilah yang membuat orang Yahudi mengkritik Yesus dalam kisah Zakheus si pemungut cukai (Lukas 19:1-10). “Disitu ada seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang kaya”(Lukas 19:2). Ia adalah seorang kaya,badannya pendek dan dikenal kurang jujur dalam pekerjaaannya. Dalam cerita ini dikisahkan, ketika Yesus hendak menuju Yerusalem Dia melintasi  kota Yerikho ( Lukas 18:31).

Yerikho adalah suatu kota perdagangan yang sangat ramai, dan makmur karena terletak di jalan kafilah dari Damaskus ke Arabia. Disana terdapat satu pos penting untuk memungut cukai dan Zakheus adalah salah satu pemungut cukai itu.

Ketika mendengar tentang kedatangan Yesus ke kota itu, Zakheus bergegas datang lebih cepat. Ia berjalan lebih dulu dari orang banyak, mengingat badannya pendek ia pun memanjat sebatang pohon ara agar dapat melihat Yesus. Ketika Yesus lewat dan melihat posisi Zakheus diatas dahan, lalu sabda-Nya; “Zakheus,segera turunlah karena hari ini Aku harus menumpang di rumahmu”. Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita. Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: “Dia menumpang di rumah orang berdosa”

Tentang kewajiban membayar Pajak perlu kita memahami perkataan Yesus, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (Markus 12:17)

Dalam perjumpaan yang luar biasa ini Zakheus mengalami perubahan seraya berdiri dan berkata kepada Tuhan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (Lukas 19 :8).

Jika imajinasi kolonial Romawi dan VOC lekat dengan penindasan ekonomi dan pajak yang tinggi, maka perekonomian Indonesia lima tahun kedepan (2025-2029) berpotensi memiliki warna baru sebagai buah proses demokrasi di Indonesia. Indonesia menyambut pemerintahan Prabowo dan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat (AS) akan mewarnai perekonomian dunia. Donald Trump yang terkenal dengan proteksionisme yang berusaha mewujudkan semangat “America first” telah berancang-ancang menerapkan tarif progresif barang impor. Kebijakan tarif jelas akan memicu memanasnya kembali perang dagang (trade wars) antara AS dengan mitra dagangnya, terutama China. Komplikasi dan ketidakpastian kebijakan Trump dan kebijakan moneter di AS akan membuat tingkat inflasi global cenderung tinggi. Pasar keuangan cepat bereaksi menyusul kebijakan moneter dan sinyal Bank Sentral AS (The Fed). Sebab, kebijakan moneter akan menentukan arah laju pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ini membawa risiko bagi ketidakpastian ekonomi pada perdagangan dunia, seperti gejolak harga dan nilai tukar yang juga mengintai negara-negara lain, termasuk Indonesia. Dibalik kelabunya ketidakpastian itu,disrupsi akibat perubahan kebijakan AS dan dampak geopolitik dan perang dagang patut diantisipasi, guna memastikan ekosistem domestik dan ketahanan eksternal tetap kokoh terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah.

Dalam konteks domestik, ternyata, nilai rupiah terhadap dollar AS terus melemah hingga menyentuh level beberapa point diatas Rp 16.000 per dollar AS. Pembiayaan kita akan menjadi mahal. Sebab, pemerintah punya program macam-macam yang perlu dibiayai, dan sebagian dari utang. Jika suku bunga di AS tinggi,suku bunga acuan dalam negeri pun menjadi sulit diturunkan. Implikasinya, dunia usaha akan berat untuk ekspansi karena pembiayaan akan mahal.

Pemerintah mesti menjaga konsumsi domestik sebagai basis pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi yang terjadi pemerintah kemungkinan menaikkan pajak dan pungutan kepada masyarakat mulai Januari 2025.

Perumusan peta jalan (road map) perekonomian nasional pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berambisi mendongkrak rasio penerimaan pajak terhadap perekonomian menjadi 23 persen, serta target pertumbuhan ekonomi 8 persen. 

Pemerintah telah memutuskan menaikkan upah minimum provinsi (UMP) 2025 rata-rata 6,5 persen. Perhitungan UMP ini dilakukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi, meski pengusaha mempertanyakan dasar perhitungannya oleh pengusaha. UMP ini dipertanyakan filosofisnya, karena tidak ada satu sektor industri yang membukukan kenaikan upah yang mampu menandingi kenaikan biaya hidup. Semestinya, kita harus bisa menyeimbangkan bagaimana kita meningkatkan penghasilan dari pekerja/ buruh dengan memperhatikan daya saing usaha.

Selama 10 tahun terakhir, perekonomian Indonesia hanya tumbuh rata-rata di kisaran 5 persen per-tahun. Meski  situasi geopolitik dan geoekonomi kurang kondusif, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan 8 persen per-tahun. Menggerakkan perekonomian agar tumbuh 8 persen setahun, setidaknya perlu didorong oleh 3 sektor penting yakni,investasi, industri, dan ekspor. Dorongan pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu juga bergantung pada daya beli dan konsumsi masyarakat.

Pertanyaannya, seberapa besar ketiga sektor ini harus didorong untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen?

Awal tahun 2025 kita disambut dengan Tahun penuh pungutan memberikan gambaran mengenai kekhawatiran ekonomi yang dirasakan. Ditandai dengan naiknya beberapa pungutan (pajak dan iuran) di Tanah Air. Pemerintah sebelumnya, tampak bersemangat menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dari 11 persen menjadi 12 persen sebagai bagian dari rencana fiskal jangka panjang untuk meningkatkan penerimaan negara serta mengurangi defisit negara.  Namun, di tengah ketidakpastian ekonomi global dan kondisi domestik berkelindan dengan inflasi yang terus menghantui, kenaikan PPN menjadi 12 persen,hanya dikenakan pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah/ PPnBM). Misalnya, pesawat jet pribadi, kapal pesiar, otomotif,serta hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, dan town house. Sementara itu, barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat seperti jasa pendidikan, kesehatan, keuangan perbankan, asuransi, keagamaan, tenaga kerja, angkutan umum, darat, dan jasa sosial, tetap dibebaskan dari pungutan PPN. Meski pembatalan kenaikan PPN yang sifatnya umum ini baru diumumkan pemerintah 2 Januari 2025 yang lalu namun, resistensi terhadap pajak yang lebih berkeadilan akan  muncul selama kebocoran APBN dan korupsi terus terjadi. Apalagi, selain polemik PPN pemerintah juga banyak disorot terkait vonis ringan bagi koruptor kakap dan pelunakan sikap negara pada koruptor hanya salah satu indikasi dari lemahnya komitmen anti korupsi yang digembar-gemborkan selama ini.

Dari sisi fiskal, sebagai konsekwensi logis dari penerapan PPN 12 persen secara selektif dan terbatas, bagaimana pemerintah merealisasikan janji-janji politiknya terutama terkait  pembiayaan program makan bergizi gratis, lumbung pangan dan IKN serta target pertumbuhan ekonomi 8 persen? Sikap publik pada kebijakan pajak adalah cermin dari kepercayaan mereka terhadap transparansi dan tata kelola anggaran. 

Di lain pihak,bisa dibayangkan kesulitan yang akan memukul tingkat kesejahteraan kelas masyarakat menengah dan bawah yang  memikul beban iuran dan berbagai cicilan yang mengikutinya. Mulai,dari  iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera), BPPJS, kredit pemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan, kredit alat-alat perlengkapan rumah tangga, kredit multi guna dan lainnya.

Dengan  berbagai pungutan dan iuran diatas,memicu kontraksi pada aktivitas ekonomi dibarengi tekanan suku bunga dan nilai tukar rupiah. 

Lebih jauh,Indonesia menggambarkan kemakmuran ke depan berdasarkan metafora investasi dan hilirisasi sektor tambang,seperti nikel, mineral dan batubara ( minerba). Namun persoalan tambang ilegal yang mengikutinya  belum pernah usai. Bahkan, saban tahun memakan korban jiwa dan menyebabkan penderitaan warga serta kerugian negara. Mengelola tambang dan mengatasi sengkarut lingkungan hidup, manusia ditantang untuk memahami investasi penuh dinamika. Di ASEAN saja semua negara berlomba untuk bisa menarik investasi. Para investor hanya mau masuk ke negara yang menerapkan ESG (environment, social, and governance) secara benar karena itu menjadi prasyarat agar product yang dihasilkan bisa menembus pasar dunia.

Tak hanya investasi yang perlu ditingkatkan, tapi incremental capital output ratio (ICOR) juga perlu ditekan. ICOR adalah parameter yang menggambarkan besaran tambahan modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Dengan perkataan lain, semakin tinggi ICOR, artinya investasi semakin tidak efisien. Saat ini ICOR Indonesia ada di posisi 6,5 dengan investasi 32 persen dari produk domestik bruto (PDB) sehingga pertumbuhan ekonomi berada di level 5 persen. Kalau pertumbuhan ekonomi mau  menjadi 8 persen,kita harus bisa menekan ICOR dari posisi 6,5 ke level 4. Apalagi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain yang ICOR-nya berada di kisaran 3-5.

Singkatnya,ICOR Indonesia bertengger di kisaran 6 menunjukkan bahwa berinvestasi di Indonesia berbiaya mahal. Mulai dari isu birokrasi yang rumit, perijinan usaha yang rumit, tumpang tindih regulasi, biaya logistik yang tinggi, serta pembangunan infrastruktur yang tidak terintegrasi dengan kebutuhan industri, hingga masifnya korupsi.

Tantangan lainnya, alam menggugat tanggung jawab manusia terhadap lingkungan hidup yang terus  mengalami gangguan atau degradasi ekologis. Kebutuhan meningkatkan pertumbuhan ekonomi telah mendorong manusia untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran. Mulai dari tambang dan energi, hutan, eksploitasi laut sehingga mengakibatkan terjadinya emisi gas rumah kaca penyebab terjadinya pemanasan global (global warming). Situasi inilah yang dianggap awal dari krisis lingkungan akibat perubahan iklim, dimana pertumbuhan ekonomi telah merusak lingkungan. Perlu diketahui, bahwa kerugian perekonomian negara dimaksud bukan berarti hanya mencakup merampok ratusan triliunan rupiah dari negara, tetapi juga memperhitungkan kerugian lingkungan.

(Bersambung)

    Related post