Transformasi Di Tengah Ketegangan Politik Dan Ekonomi Dunia (Bagian 3)

 Transformasi Di Tengah Ketegangan Politik Dan Ekonomi Dunia (Bagian 3)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Para pendiri bangsa sangat serius menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sila pertama dalam Pancasila. Semua Agama di Indonesia memandang korupsi sebagai perilaku tercela. Dari berbagai istilah literatur agama, menyebutnya sebagai perbuatan dosa. Kemampuan manusia mengenali dan merespons kebenaran (Roma 1:20) yang telah terdistorsi oleh dosa (Roma 1: 28; 7: 25-26) harus dikembalikan dan dipulihkan dengan pembaruan budi. Kata “pembaruan budi” merujuk pada kesadaran moral, untuk mereduksi skeptisme yang berkembang. Perubahan perilaku menjadi kesepakatan moral bersama, bila sudah menjadi obligasi etika dan ketulusan diri menuju tujuan hidup yang harmoni. 

Sebagaimana kita ketahui bersama, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan amanat reformasi, janganlah sekadar basa-basi dalam ucapan.

Kejujuran, kerja keras, mencerdaskan masyarakat banyak, pengabdian tulus akhlak mulia,dan keteladanan semestinya diaktualisasikan sebagai ciri “pemimpin pelayan” yang harus ditampilkan untuk membangun watak bangsa oleh para penyelenggara negara. Tak cukup hanya wacana atau angan-angan.

Bila arah penyelenggara negara setelah reformasi saat ini banyak dipertanyakan, terbuka kemungkinan celah kesenjangan dari visi Reformasi tahun 1998. Penyelenggara negara boleh jadi mengalami distorsi atau deviasi yang bergerak ke arah lain mengikuti arus pragmatisme politik dan ekonomi sehingga terbuka kemungkinan “denda damai” bagi koruptor.

Kenyataannya,banyak pemimpin atau juga yang merasa pemimpin yang bicara pemberantasan korupsi tetapi ujung-ujungnya hanya memperkaya diri. Hedonisme keduniawian dipuja di berbagai tindakan pada level sosial. Tak ada asketisme yang dijadikan jalan suci spritualitas atas peran sosial kelompok elite politik dan ekonomi.

Tak hanya  dalam konteks korupsi, kolusi, dan nepotisme, setiap kelompok sosial politik telah menjelma sebagai komunitas yang berorientasi kepada kekuasaan semata. Bukan pada kemaslahatan kolektif berbangsa dan bernegara awal ketika Indonesia didirikan tahun 1945.

Praktik kekuasaan mengurus negara secara sadar atau tidak sering terpapar hukum politik Lord Acton, “Power tends corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Problem utamanya selalu pada digdaya para aktor yang kelebihan/surplus otoritas dan melakukan “abuse of power”. Praktik penyalahgunaan kekuasaan secara substansial dan fungsional mendorong masifnya pusaran korupsi yang sulit dilawan karena godaan ketamakan sudah menguasai diri.

Terkikisnya keteladanan dengan orientasi pada kepemilikan kekayaan material jauh lebih menonjol daripada spirit pengabdian kepada rakyat dan negara telah menjadikan para pemimpin/aktor negara kehilangan pesonanya.

Sulit dibantah perang melawan korupsi di negeri ini, hanya sebatas retorika karena kenyataannya penegakan hukum terhadap koruptor justru secara berjenjang lemah dan dilemahkan. Mulai dari pengungkapan kasus tebang pilih, vonis ringan di pengadilan dan pemberian remisi  berulang setiap tahunnya.

Oleh karena itu, meskipun kita menghadapi turbulensi global karena  ketegangan politik dan ekonomi, kita tetap melangkah kepada pemahaman awal seruan transformasi Rasul Paulus “…berubahlah oleh pembaruan budimu”, patut direnungkan.

Menyuarakan perubahan ke arah dunia yang lebih baik adalah cita-cita  kemanusiaan yang indah. Penting untuk dicatat, profesionalisme sebagai basis pembangunan kompetensi, knowledge & skill serta pembaruan budi untuk menghasilkan SDM berkarakter  ungggul dan terpuji dan etos kerja dalam melakukan pekerjaannya di era modernisasi dan digitalisasi. Menentang ketidakadilan, tidak KKN, sebab Tuhan menyukai keadilan dan membenci kejahatan (Mazmur 82). Dengan perubahan itu kita berharap akan lahir kesejahteraan yang menekankan upaya memerangi kemiskinan terintegrasi dengan penciptaan lapangan kerja dan perlindungan sosial.  

Lebih jauh, jika tidak mengambil tindakan nyata pada pemberantasan korupsi,korupsi dan nepotisme, apalagi adanya upaya melemahkan aparat penegak hukum dapat membawa petaka ekonomi berkelanjutan.

Disinilah dibutuhkan pentingnya moral dan etika serta keteladanan para pemimpin/ aktor negara dalam mengurus Indonesia Raya.

(Selesai).

    Related post