Bersukacita dalam Nyanyi dan Tari (Bagian 1)
Lagu dangdut koplo yang dinyanyikan Farel Prayoga (12) penyanyi cilik dari Banyuwangi memberi nuansa baru yang begitu kontras dengan upacara sebelumnya. Peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Ke-77 pada Rabu, 17 Agustus 2022 di halaman Istana Negara disambut hadirin dengan sukacita. Berbalut tema “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat,” Farel bernyanyi dan bergoyang di depan ribuan peserta upacara dari kalangan pejabat pemerintah, kepolisian, pasukan militer, artis hingga undangan umum.
Lagu “Ojo Dibandingke” yang dinyanyikan Farel membuat suasana menjadi semakin “panas”, tatkala tangan Ibu Iriana Joko Widodo terlihat bergoyang mengikuti alunan irama. Tidak hanya itu, terlihat beberapa pejabat negara, semisal Menteri Pertahanan Subianto, Menteri BUMN Erick Tohir, KSAD Jenderal Dudung Abdurachman, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani tanpa ragu bergabung dengan Farel berjoged dan menari bersama. Sungguh pemandangan yang luar biasa, riuh gembira seluruh peserta upacara menjadikan suasana terlihat berbeda.
Ternyata pada abad ke-21, tari tetap mengambil peran dalam berbagai bentuk. Di tengah persaingan politik menuju Pilpres dan Pileg 2024 tari menjadi gagasan untuk mengurai perebutan pengaruh dan penaklukan. “Lightness”, begitu kurang lebih dirumuskan oleh Milan Kundera dalam karyanya, “The Unbearable Lihtness of Being”. Suatu karakter yang percaya pada cerita, simbol dan komitmen, energik dan inspiratif, membuat atraksi tari bernarasi politik. Jika politik dimaknai sebagai seni memengaruhi dan memenangi hati warga, tak diragukan lagi kadang tarian mengalir begitu saja, mengikut arah angin, atau menari dengan gendang orang lain untuk meraih kekuasaan.
Pemikir budaya tersohor Clifford Geerzt (1980) pernah menggambarkan politik juga dapat dipandang sebagai perjuangan di seputar makna simbol-simbol. Politik dimaknai sebuah drama yang di dalamnya berlangsung bahasa simbol dalam komunikasi politik berdimensi koalisi dan kolaborasi. Simbol-simbol dalam kehidupan politik tak bisa dipisahkan dari budaya dan perilaku politik itu sendiri. Pada abad visual, politik lumrah dilihat sebagai panggung hiburan nyanyi-tari yang mendorong praktik demokrasi berbiaya tinggi. Rupanya, perburuan citra visual kian meneguhkan eratnya hubungan antara modal tarian biaya tinggi dan kuasa.
Bukankah kampanye politik juga sering diselingi goyangan dangdut, di atas panggung hiburan dan selebritisasi sebagian politisi menyanyi dan menari bersama artis, sudah biasa?
Selama ini elit politik berhasil menggunakan kekuatan retorika sosial melalui seni pertunjukan untuk menciptakan dramatisasi dan kesan kedekatan dengan rakyat. Dekat dengan petani,hadir di lokasi bencana, blusukan ke pasar-pasar, berkunjung ke rumah warga bukan lagi gebrakan politik yang unik atau baru. Keberhasilan mereka membangun “retorika kedekatan/ keintiman (rhetoric of intimacy) untuk membangun imajinasi dan fantasi masyarakat, memberi harapan (hope) terhadap masa depan yang lebih baik.
Tebaran citra diri di media sodial dan papan iklan yang lebih menawan, ditambah bantuan konsultan tari profesional dipandang sebagai seni bertindak secara simbolik. Bersukacita dalam nyanyi dan tari untuk dapat menerjemahkan visualisasi serta verbal ke dalam politik simbol bahwa mereka mampu menangkap harapan yang hidup di dalam masyarakat, dan memberikan pemecahan realistik atas persoalan yang dihadapi. Bahkan, di tengah banyak tantangan resesi geopolitik dan ekonomi serta perubahan iklim belakangan ini, tari pun dimaknai sesuai zaman dalam rangka mengajak dunia untuk bersatu, bekerjasama, dan saling mendukung. (Bersambung)