Bersukacita dalam Tari dan Nyanyi (Bagian 2)
Memaknai Tarian Sesuai Zaman
Luar biasa. Umat Israel merayakan Tabut Allah dengan puji-pujan dan arak-arakan agung bagi Tuhan. Sementara para pengangkat Tabut Tuhan melangkah maju, Daud meloncat-loncat, menari-nari dihadapan Tuhan. “Di depan berjalan penyanyi-penyanyi, di belakang pemetik-pemetik kecapi, ditengah-tengah dayang-dayang yang memalu rebana” (Mazmur 68: 26). Mazmur 68 ini merupakan nyanyian kemenangan Daud yang secara dramatik menguraikan peristiwa pemindahan Tabut Perjanjian Tuhan dari rumah Obed- Edom Orang Gat, ke Kota Daud, Yerusalem (2 Samuel 6). “Dan Daud menari-nari di hadapan Tuhan dengan sekuat tenaga; ia berbaju efod dan kain lenan” (2 Samuel 6:14). Jika Daud menari-nari memuji Tuhan menyambut Tabut Perjanjian, demikianlah kita setiap umat percaya boleh menari-nari dalam persekutuan Kristen menantikan janji kedatanganNya untuk menjemput kita bersamaNya, kelak di surga.Maranatha!
Begitu seorang penyanyi pada suatu perayaan hari raya Kristen, mengajak hadirin untuk ikut naik ke atas panggung. Sontak banyak orang segera berlari ke atas panggung, ada penatua, majelis maupun warga gereja. Mereka menyanyi, menari (manortor) sambil bergoyang. Tak ada urusan pelik, yang ada hanya keceriaan dan kebersamaan. Sesekali mikrofon diberikan, supaya khalayak ikut berdendang dan menari, diikuti riuhnya tepuk tangan.
Manortor adalah tradisi lama yang sangat unik dalam menggambarkan kebiasaan khas orang Batak menyambut hajatan mulai dari upacara pernikahan, dan kematian (Saur Matua). Adalah Dr. I.L. Nommensen, missionaris penyebar Kekristenan ke Tanah Batak yang mengakomodasi budaya dengan agama dan diekspresikan secara khas dalam masyarakat Kristen yang menghidupi budaya: Habatahon di bagasan ngolu Hakristenon.
Narasi ini sangat kuat membentuk transformasi budaya Batak masuk ke tata peribadatan Gereja. Musik di kebaktian Gereja HKBP, sudah ada yang dilengkapi dengan iringan musik tradisi berupa gondang atau taganing dan tarian tortor berbalut ulos menyatu dengan nyanyian kelompok paduan suara. Bahkan, dalam Pesta Gotilon HKBP Duren Sawit yang digelar di penghujung bulan September ini, wujud syukur atas hasil panen (gotilon) dengan atraksi menumbuk padi memakai alu. Sambil menumbuk padi mengitari lesung dengan menari/ manortor menjadi narasi tontonan yang menarik.
Tarian tortor dengan mengenakan ” ulos” sarat dengan seni, budaya, dan religi. Begitu banyak makna dan representasi yang terkandung di dalamnya sebagai simbol restu, pengharapan, dan doa. Menari bukan hanya menguasai gerak dan instrumen, melainkan juga melatih diri untuk mempercayai Tuhan. Tarian menyatu dengan aspek tubuh, jiwa, dan roh yang diimplementasikan dalam kehidupan spiritual, menggiring kita menyongsong secercah harapan dalam mewujudkan impian yang semestinya dicapai. Melalui tarian kita bersekutu dengan Tuhan sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah. Horison pemikiran baru ini memungkinkan kita dalam perjumpaan lintas kultural dalam habatahon di bagasan ngolu hakristenon menciptakan transformasi di tengah globalisasi dunia. Butuh kebijakan sinergis dalam mengadaptasikan diri dan tingkah laku dalam menyambut pertumbuhan kerohanian ini agar kita dapat menjadi surat Kristus yang dapat dibaca semua orang ( 2 Korintus 3: 2-3).
Pertunjukan tari terus melangkah membuat kesejarahan akselerasi budaya di bumi Nusantara. Banyak riwayat menyebut teater Batak “Opera Tilhang” yang menjadi fenomena luar biasa pada era tahun 1950-an. Daya tarik yang ditonjolkan berupa seni pertunjukan opera melalui cerita rakyat, dendang lagu dan tari. Masa-masa pelaku pertunjukan teater konvensional yang hidup berkumpul satu atap terus berevolusi mulai dari Miss Tjitjih, Wayang Orang Bharata, Teater kecil, Bengkel Teater Rendra, Teater Populer. Kini, romantika hidup bersama satu atap mulai memudar dengan mangemen modern seperti Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) yang berkumpul di satu tempat kemudian manggung. Adegan teatrikal pun disusun sedemikian rupa dalam nyanyi dan tari. PLOt sudah berulang kali manggung di luar negeri. Diantaranya 2017 hinga 2018 mereka tampil di Jerman, Belanda, dan Spanyol. Maestro tari Didik Nini Thowok selalu senang menari di candi dengan menginisiasi Program Belajar Bersama Maestro (BBM) di Studio Mendut, Magelang, Jawa Tengah.
Evolusi tarian dikontruksi oleh keterhubungan antara adat,dan inteligensi budaya dalam interaksi “cross cultural” dan menginternalisasikannya dalam kehidupan kita. Seni tari erat dengan panggung yang didukung cerita rakyat, penulis,penyair atau penata tari (koreografi) menghadapi persoalan produksi, sponsor sampai perizinan. Urusan menghimpun penonton dan manajemen membutuhkan kolaborasi, masih menjadi tantangan. Hal ini disebabkan masih rendahnya minat dan kepedulian dari pemerintah maupun masyarakat terhadap tumbuh kembangnya seni tari.
Rendahnya minat dan kepedulian ini, mengingatkan kita terhadap koreografer bernama Sardono W Kusumo yang berjudul “Meta Ekologi” (1975). Karya tari yang sarat eksperimentasi itu menampilkan tubuh-tubuh terbenam, bergelimang satu dengan bumi. Kala itu sang seniman tari merasa cemas dengan deforestasi yang terjadi disebabkan modernisai dan industrialisasi serta perubahan iklim. Peringatan sang koreografer tentang perubahan iklim yang berdampak sampai sekarang menjadi ancaman bagi ketahanan pangan Indonesia. Pendekatan saintifik, menjadi kontruksi kaidah-kaidah kearifan lokal yang bersiasat menggiring kita menyongsong secercah harapan dalam mewujudkan proses adaptasi dan mitigasi dengan komprehensif. (Bersambung)