Desentralisasi Keuangan HKBP Dan Tajamnya Disparitas Kesejahteraan Pelayan
Kita bersyukur kepada Tuhan dan berbangga hati jika masih banyak anak jemaat HKBP yang mau mempersiapkan diri untuk menjadi pelayan penuh waktu di HKBP yaitu menjadi Pendeta, Guru Huria, Bibelvrouw, dan Diakones. Kesinambungan pelayanan di gereja HKBP dapat bertahan walaupun di sana sini mengalami dinamika. Tidak dapat disangkal dalam banyak hal, terdapat peningkatan dalam pelayanan HKBP meskipun kita tidak bisa menutup mata terhadap kemunduran dalam beberapa bidang pelayanan.
Satu hal yang penting untuk kita cermati adalah tajamnya disparitas kesejahteraan pelayan HKBP. Tidak sedikit dari pelayan HKBP yang melayani di jemaat kecil dan di tempat terpencil menerima biaya hidup (balanjo/kesejahteraan) yang angkanya jauh dari sejahtera, atau sekadar memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah anak-anaknya. Mereka sangat memaklumi keadaan jemaat yang dilayaninya dan tidak menuntut banyak, karena toh jemaat yang dilayaninya tidak akan sanggup memenuhinya. Mereka harus mengupayakan penghasilan tambahan dengan berbagai macam kegiatan seperti bertani, beternak atau rupa-rupa pekerjaan lainnya.
Para pelayan ini tidak terlalu memfokuskan diri pada penampilan. Mereka tidak enggan untuk bekerja di terik matahari yang membakar kulitnya hingga hitam lebam. Hujanpun tidak dihiraukannya jika pekerjaannya belum selesai, sebab besok mungkin tidak bisa lagi meneruskannya karena harus sermon, melayani Parari Kamis dan berbagai macam pelayanan lainnya. Namun, itu berlaku hanya bagi mereka yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan di bidang pertanian dan peternakan. Sedangkan bagi yang tidak memilikinya, sulit bagi mereka untuk mencari penghasilan tambahan memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Selanjutnya, untuk mengatasi medan pelayanan pun sangat membutuhkan energi yang cukup. Beberapa pelayan tersebut masih ada yang harus menempuhnya dengan berjalan kaki atau naik sepeda motor dengan kondisi jalan yang sangat sulit. Biasanya jemaat seperti ini dikunjungi pendeta jika ada pelayanan khusus seperti baptisan, peneguhan sidi atau pemberkatan nikah. Namun menariknya, di sisi yang berbeda, bagi si pelayan, hal itu justru menyenangkan, karena sambutan jemaat yang sangat baik dan ramah karena jarangnya kunjungan pendeta.
Bagi pelayan yang mengalami kesulitan dengan hal tersebut, mereka berupaya menemukan jalan keluar dengan mengajukan permohonan kepada pimpinan agar dipindahkan ke jemaat yang lebih mapan, utamanya secara finansial agar kebutuhannya terpenuhi. Namun itu menjadi persoalan yang sulit bagi pimpinan HKBP, sebab itu berdampak terjadinya pergeseran posisi pelayan lain dan harus memikirkan ke mana akan mereka akan “digeser/dipindahkan.”
Sementara itu, pada sisi lain, ada pelayan yang tidak perlu berjerih lelah memikirkan kebutuhan keluarganya, karena semuanya terpenuhi oleh jemaat yang dilayani, berikut fasilitas lainnya seperti mobil, rumah dinas yang cukup memadai. Mereka berkesempatan menikmati fasilitas berlibur, dan berpenampilan sedikit lebih menarik, dengan 2 atau 3 handphone di tangan, hand bag yang branded, dan pakaian yang mewah. Jemaatnya tentu bangga jika para pendetanya sejahtera dan berpenampilan menarik. Namun persoalannya adalah mereka akan menempuh berbagai cara agar tetap melayani di daerah yang jemaatnya mampu menyediakan fasilitas-fasilitas itu. Mereka bisa saja merasa enggan dipindahkan ke daerah lain yang keadaan ekonominya lebih rendah.
Sentralisasi keuangan HKBP diharapkan dapat menolong para pelayan HKBP keluar dari persoalan ini. Sebab semua pelayan HKBP akan menerima “balanjo” yang sama dimanapun mereka melayani sebab sudah disediakan oleh kantor pusat HKBP. Tidak dapat dipungkiri, bahwa secara keseluruhan pendapatan yang diterima tidak mungkin sama, tetapi paling tidak kebutuhan dasar keluarga dan sekolah anak-anak bisa terpenuhi dengan baik.
Mari terus berdoa dan berupaya agar cita-cita besar kita, sentralisasi keuangan HKBP dapat terwujud. Tuhan memberkati gerejanya.