Gaya Hidup Mewah Pejabat Publik Meresahkan? (Bagian 3)

 Gaya Hidup Mewah Pejabat Publik Meresahkan? (Bagian 3)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit. Penulis Buku “Keceriaan Masa Pensiun”

Kemiskinan dan Komitmen Kebangsaan

Ekonomi global sedang tak baik-baik saja. Merujuk data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini di dunia, dengan sebagian orang hidup berkelimpahan, 811 juta orang tidak memiliki cukup makanan dan 44 juta berisiko mengalamij kelaparan, 2 miliar orang masih hidup tanpa air minum yang aman, 3,6 miliar tanpa sanitasi yang dikelola dengan aman, serta 1,3 miliar orang masih hidup dalam kemiskinan multidimensi, dengan hampir setengahnya adalah anak-anak dan remaja.

Sementara di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2022 angka kemiskinan 9,54 persen dari total penduduk atau sebanyak 26,12 juta orang, turun 0,17 persen dibandingkan dengan September 2021, yakni 9,71 persen atau 26,50 juta orang. Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan BPS mencatat penurunan secara nasional tingkat ekonomi ekstrem dari 2,14 persen pada Maret 2021 menjadi 2,04 persen pada Maret 2022. Namun, jika dilihat per daerah terdapat 14 propinsi mengalami peningkatan kemiskinan ekstrem, termasuk DKI Jakarta.

Di tengah kondisi ekonomi global yang diprediksi semakin gelap, pada saat yang sama Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi secara signifikan, 5,44 persen pada TW II- 2022. Indonesia terus menjaga pertumbuhan dan mengendalikan inflasi melalui kebijakan moneter dan fiskal. Dan, berusaha menolong mereka yang terbebani kesulitan ekonomi/ miskin dengan program perlindungan sosial menjadi prioritas yaitu pemberian subsidi. Indonesia memang lebih aman ketimbang negara lain. Namun, imbas gejolak ekonomi dunia itu tidak terhindarkan. Efek domino dari kenaikan inflasi di tingkat produsen (cost- push inflation) serta imbas kebijakan pengetatan moneter telah membebani dunia usaha dan melemahkan roda perekonomian domestik.

Selain itu belanja harus diarahkan kepada sektor yang memiliki dampak pengganda (multiplier) yang tinggi. Implikasinya akan menurunkan permintaan barang branded global, dan menaikkan permintaan produksi dalam negeri.  Bukankah itu selaras dengan pesan Bung Karno: Ambeg paramarta, mengutamakan yang penting didahulukan?

Selama berabad-abad agama-agama besar telah mengajarkan”martabat” merupakan nilai intrinsik yang dimiliki manusia. Bahkan, dalam falsafah kebangsaan dan dasar negara kita Pancasila, dua sila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menunjukkan betapa luhurnya kedudukan martabat manusia.

Penguatan komitmen kebangsan meyakinkan kita untuk seadaptif mungkin menghadapi perubahan dengan cara pandang yang lebih luas. Belajar dari ibu dan bapak pendiri bangsa yang mendirikan negara Indonesia dengan pikiran-pikiran brillian, integritas moral yang luhur, keteladanan moral yaitu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri sendiri.

Kenyataanya, di planet kita ini keserakahan manusia masih terjadi, memeras dan saling menindas antara sesamanya. Gaya hidup mewah dipamerkan di tengah rakyat miskin yang mendambakan kesejahteraan. Meskipun mereka  menyebut dirinya umat beragama, tidak ada empati atau berbelas kasih kepada mereka yang terbebani kesulitan atau kemiskinan. 

Selain hidup sederhana itu indah, rendah hati, juga memberi kelegaan pada orang lain, yang teramat penting lagi adalah komitmen kita untuk menghasilkan buah, seperti komitmen Rasul Paulus, ” “Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Filipi 1:22a).

Dalam pemahaman iman sedemikian,misi pelayanan gereja turut serta  mewujudkan kedatangan kerajaan Allah di bangsa dan negara kita. Rendah hati, murah hati, dan berbelas kasihan, mengangkat yang tertekan dan menghibur yang berduka. Membantu mengurangi kesulitan kesulitan orang-orang yang setiap hari berani berjuang meniti harapan dengan sumber daya yang terbatas untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang mendera agar hidup bermartabat.

Jika budaya menghindari gaya hidup mewah dan motivasi berbagi serta melayani kaum terpinggirkan, dapat ditumbuhkembangkan, membuat kita optimistis bahwa kepedulian untuk menegakkan sila kedua dan kelima Pancasila bukanlah retorika, melainkan perlu kita wujudkan sebagai bagian

 dari penghargaan atas martabat manusia. Isue-isue hedonis jika dibiarkan bisa menjadi ancaman integritas bangsa. Sebab,kemiskinan  memerosotkan kualitas hidup, serta dapat menyuburkan pertumbuhan kelompok  kriminal terorganisasi. Praktik kelompok kriminal terorganisasi memanfaatkan sebagian rakyat yang tergolong miskin dan rata-rata kurang berpendidikan yang saling bertaut.

Karena itu, sudah semestinya kita berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan, dan berusaha menanggulanginya.Terlebih aparat  penegak hukum harus melayani dan melindungi rakyat. Demikian juga pejabat lainnya( tokoh ormas dan tokoh gereja), menjadi pribadi yang berbasiskan nilai spritual, sosial, dan bermanfaat bagi alam semesta sesuai arahan Presiden Joko Widodo diatas untuk hidup sederhana. Itu amanat, jadi harus dijalankan karena gaya hidup mewah itu bisa terjadi dimana saja. 

Selain itu, banyak yang berharap ada tips and trick jitu, agar seadaptif mungkin dengan perubahan padahal yang harus berubah adalah karakter dan mindset setiap individu yakni mengembangkan sikap optimistis, tetapi realistis. Justru disinilah peran pendidikan sangat penting. Memeratakan pendidikan dan kesejahteraan ke pelosok-pelosok negeri amatlah diperlukan. Pendidikan merupakan hak bagi semua warga negara perkotaan, perdesaan, tidak terkecuali orang-orang terpinggirkan atau miskin.  Pergerakan ke depan Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari pendidikan kognitif, hidup sederhana dan soft skills lainnya sama-sama penting dikembangkan untuk mendapatkan generasi emas pada 2045 mendatang.

(Selesai)

Related post