Hak Asasi Manusia (II)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), terlahir setelah perang dunia II dan peristiwa-peristiwa pembantaian manusia jaman itu. Majelis Ulama Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan DUHAM yang terdiri dari 30 pasal yang menghargai hak-hak manusia di hadapan sosial, politik, hukum dan dunia internasional. Deklarasi ini di tetapkan pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris dengan ketetapan Resolusi 217 A (III). Negara Indonesia yang juga anggota Perserikatan Bangsa-bangsa baru pada amandemen kedua Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memasukkan beberapa isi dari DUHAM sebagai bagian dari konstitusi tertinggi di negeri ini. Hal ini berdasarkan ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia pasal 2 “Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945”. Dan pada tahun 1999 Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia menetapkan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang dibawah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 harus menghargai hak-hak manusia berdasarkan Hak Asasi Manusia.
Dalam salah satu mukadimah DUHAM mengatakan “Menimbang, bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan”. Peraturan hukum yang dibuat dalam negara hukum harus melindungi hak-hak manusia agar jangan terjadi suatu pemberontakan akibat dari produk hukum yang dibuat oleh negara atau Lembaga-lembaga kemasyarakatan. Peraturan hukum harus mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat yang menghargai Hak Asasi Manusia. Hal itu di perjelas pada pasal 74 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan “Tidak satu ketentuan dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak mana pun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-udang ini”.