Hukum dan Kekuasaan
Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sebaliknya kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan. Artinya hukum tanpa kekuasaan hanyalah sekedar cita-cita saja tanpa ada kekuatan untuk menerapkan hukum tersebut. Perlu tangan untuk menerapkan atau menjalankan hukum agar hukum itu mempunyai wibawanya. Seperti kita lihat dijalan ada rambu-rambu lalu lintas, bila tidak ada penegakan hukum untuk pelanggar rambu-rambu lintas maka rambu-rambu itu hanyalah hiasan semata. Penegakan hukum oleh penegak hukum harus sejalan seiring, maka hukum itu menjadi norma yang harus dipatuhi.
Namun sebaliknya, kekuasaan tanpa hukum akan mengakibatkan tindakan otoriter. Penguasa yang tidak mematuhi hukum dan melakukan tindakan sesuka hatinya adalah tindakan kesewenang-wenangan. Semisal, seorang penguasa menangkap rakyatnya karena ketersinggungan akibat suatu kritik, sehingga orang lain dibungkam untuk menyampaikan kritik. Sikap otoriter membuat ketakutan-ketakutan di kalangan bawahan atau anggota organisasi. Itu sebabnya kekuasaan harus dikendalikan oleh hukum agar tidak terjadi kewenang-wenangan.
Dalam negara demokratis, hukum dan kekuasaan saling mendukung dan melengkapi. Semua element di negara itu tunduk dan taat akan hukum, artinya semua sama di hadapan hukum (equality before the law). Tidak ada diskriminasi dalam penerapan hukum, tanpa melihat suku, ras, agama atau identitas tertentu. Hukum sebagai panglima dalam suatu penegakan terhadap permasalahan hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan negara. Semua orang atau badan hukum harus tunduk kepada hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat atau negara tersebut. Montesquieu membagi tiga kekuasaan dalam negara yaitu eksekutif, legislative, yudikatif. Ketiga kekuasaan itu tunduk kepada hukum atau konstitusi dalam menjalankan perannya masing-masing. Kekuasaan itu harus di jalankan sesuai dengan cita hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Raja yang menghakimi orang lemah dengan adil, takhtanya tetap kokoh untuk selama-lamanya (Amsal 29:14)