KEHIDUPAN BERAGAMA DAN BERPOLITIK DALAM ALAM DEMOKRASI (BAGIAN 2)

 KEHIDUPAN BERAGAMA DAN BERPOLITIK DALAM ALAM DEMOKRASI (BAGIAN 2)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Demokrasi dan Era Identitas Baru

Berakhirnya Perang Dingin pada awal tahun 1990-an membawa era baru yaitu maraknya politik berbasis identitas dan ikatan-ikatan  emosional yang sempit mengarah kepada kekerasan. Di era ini kita kita menyaksikan apa yang disebut oleh Thomas Meyer, sarjana politik asal Jerman identity mania Gejala “maniak identitas” itu pada perkembangan berikutnya memicu lahirnya aktor-aktor politik yang secara pragmatik-opportunistik hendak “menumpang” saja (free riding politician). Inilah yang kemudian melahirkan politik populisme.

Dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara demokrasi pun terusik rezim populis ini. Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra (2001- 2006), pemimpin populis pertama di Asia Tenggara. Taipan sukses ini menyebar kebijakan populis berupa kredit petani dan pengobatan  murah masyarakat perdesaan dan kelas pekerja/ buruh. Namun, selama memimpin, ia otoriter dan bertindak sewenang-wenang. Ekonomi yang rapuh ditopang oleh hutang luar negeri yang membesar menimbulkan benih ketidakpercayaan (distrust) menguat.

Sejak Indonesia merdeka, berbagai “eksperimen” demokrasi dilakukan dan proses demokratisasi berjalan cukup cepat, meski berbagai ekses timbul dimana-mana. Indonesia sesuai Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 27 UUD 1945 menyebutkan,Indonesia adalah negara hukum. Semua warga negara sama kedudukannya di muka hukum dan pemerintah wajib menjungjung hukum tanpa kecuali (equality before the law)

Setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan  dalam proses demokrasi di Indonesia yaitu membangun bangsa yang maju tentu tidak cukup dengan pembangunan fisik semata. Harus diikuti pembangunan manusianya. Para pendiri bangsa sudah mengingatkan agar memperhatikan keduanya. Lagu Indonesia Raya gubahan WR Soepratman mengatakan, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.”

Perwujudannya lewat  semangat  beragama dan berpolitik tumbuh menjadi sebuah tuntutan kehidupan perekat persaudaraan yang lebih sehat. Karena itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi, sudahkah ia menciptakan lingkungan beragama dan berpolitik yang aman bagi semua pihak? 

Selanjutnya, guna  menyadarkan kembali pentingnya menghargai keberagaman beragama ditengah-tengah bangsa ini, maka perwujudan persatuan lewat toleransi antarumat beragama perlu terus digaungkan. Kerukunan antarumat beragama yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antarmasyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Pemazmur di dalam Alkitab menyebut manfaat hidup rukun itu, “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mazmur 133:1). Jika ada persoalan bernuansa agama, maka pemerintah bersama tokoh agama segera mencari solusi bagaimana supaya persoalan itu tidak melebar kemana-mana. Tentu saja, peran konsolidasi, kolaborasi dan negosiasi politik akan lebih mudah mencapai sasaran yang lebih tinggi. Kerukunan hanya dapat tercipta ketika semua pihak yang berbeda dapat duduk bersama, berdialog, untuk saling menerima meski berbeda agama tetapi dapat  hidup berdampingan dengan harmonis. (Bersambung)

Related post