Keterkaitan Kemiskinan Antara Persoalan Ekonomi Dan Politik (Bagian 2)
Pendidikan Mewujudkan Negara Sejahtera
Tidak perlu diragukan ekonomi Indonesia akan tumbuh di tahun-tahun mendatang. Namun, ditengah-tengah optimisme pertumbuhan itu terdapat fakta yang menyedihkan makin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin. Upaya menekan kesenjangan itu harus melalui pertumbuhan ekonomi tinggi, kesempatan kerja, kesehatan, dan pendidikan.
Mengapa perlu pendidikan? Sebab, sekarang dan kedepan dibutuhkan orang-pintar sekaligus orang yang punya integritas, terkandung didalamnya kekuatan intelektual, etik dan moral. Memang harus kita akui, ” persaingan” di pasar kerja seolah tak ada habisnya sehingga pertaruhan yang mahal adalah menciptakan SDM unggul, dengan karakter terpuji itu.
Karakter yang mewariskan keteladanan yang baik adalah mereka yang mendapat pendidikan yang baik. Adalah karakter yang mewariskan keteladanan yang baik, hidup bermoral, beradab, dan beriman.. Sebaliknya, pendidikan yang buruk melahirkan praktik buruk , kejahatan moral dan etik yang melahirkan kemiskinan.
Pendidikan dengan karakter unggul dan terpuji itu sudah ada sejak dulu kala ribuan tahun yang lalu. Para Tokoh di Alkitab,seperti Yusuf, Musa, Yosua dan Nehemia adalah orang berpengetahuan, hikmat dan berintegritas. Demikian juga dengan Timoteus anak rohani Rasul Paulus pelayan Tuhan yang berpengetahuan, berdedikasi dan berintegritas tinggi yang mengatakan,”akar dari segala kejahatan adalah cinta uang” (for the love money is the roof of all evil). Menjadi sosok teladan berorientasi karya yang memilki etos kerja unggul, dan berpantang cinta uang. Penegakan moral dan etika semacam itu,merupakan keteladanan yang didambakan orang sekarang dan masa mendatang. Sebab, rapuhnya sendi-sendi ruang moral dan etika dapat dipastikan menghadirkan retak di cawan kearifan berpengetahuan.
Kalau kita mau baca lagi di 2 Timoteus 3:15-16, pendidikan Timoteus terbekali dari membaca “Kitab suci”. Dalam teks asli aksara Yunani, yaitu hiera grammata (tulisan-tulisan suci). Pada masa hidup Timoteus buku-buku yang dinilai suci oleh orang Yahudi jumlahnya mendekati seratus. Buku-buku itu belum dipilih atau disusun kala itu kedalam Alkitab yakni Kanonika 39 kitab atau Deutero Kanonika 49 kitab.
Agaknya buku-buku itulah yang dibaca oleh Timoteus, yaitu buku-buku para penulis Yahudi dari zaman pra- Yesus dan buku-buku para penulis Kristen dari zaman gereja mula-mula yang ditulis dalam bahasa Ibrani, Aram, dan Yunani.
Buku-buku tersebutlah yang menjadi guru Timoteus. Disamping itu, Timoteus pun menerima pendidikan dari ibunya Eunike dan neneknya Lois (2 Timotius 1:13). Karena itu, Timotius tumbuh menjadi sebagaimana dia ada karena pendidikan gemar membaca dan pembentukan karakter unggul dari keluarga.
Menarik sekali, ternyata sejak abad permulaan gereja dijuluki umat berbuku yang gemar membaca dan menulis. Pada zaman itu pun gereja atau Sunagoge agama Yahudi disebut bukan rumah ibadah, melainkan rumah belajar. Arti harfiah Sunagoge adalah belajar bersama-sama (Matius 13:54, Markus 1:39).
Budaya berpengetahuan terus bergulir ke seantero negeri. Menyadari pentingnya berpengetahuan Dr IL Nommensen pun memberitakan Injil ke Tanah Batak dengan berbagai cara. Ia memperbaiki sistem pertanian, peternakan, dan menginisiasi model “pargodungan”, dimana ada Gereja, disitu ada sekolah dan klinik kesehatan. Ia juga menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak Toba dan menerbitkan cerita-cerita Batak dalam buku untuk menarik minat baca.
Nommensen dengan berani dan tegas mengatakan kepada raja-raja Batak kala itu,bahwa firman Tuhan, “tak dapat dijelaskan kepada orang yang bodoh “(ndang tarpatorang i tu halak na bodo).
Semangat orang Batak Toba pun menyala dalam mengejar pendidikan atau berpengetahuan sebagai hasil motivasi ajaran kekristenan dan program persekolahan yang dibuka oleh zending HKBP di Silindung pada tahun 1870-an. Konon khabarnya, sejak masa itulah serta merta raja-raja di wilayah di Tanah Batak Toba berlomba-lomba memohon dan menerima program persekolahan yang diselenggarakan oleh zending.
Masih pada masa penginjilan ke Tanah Batak, Nommensen sudah mengamati dan mengakui adanya talenta mengajar dan bersoal-jawab atau berdebat di kalangan tua-tua orang Batak. Ia sudah meramalkan bahwa putera-puteri orang Batak, kelak bisa dikembangkan menjadi guru-guru, dokter dan ahli hukum yang berkualitas.
Nommensen menjadi Ephorus HKBP pertama dan memperluas pengabaran Iinjil di Tanah Batak bahwa HKBP telah terpanggil menjadi berkat bagi dunia.
Karena itu,pendidikan yang disinari oleh terang Kristus agar terus dikembangkan untuk mencetak para Pendeta, guru,dokter, ahli hukum, ahli ekonomi dan ahli-ahli administrasi pemerintahan untuk menjawab tantangan zaman.
Hakekat swasembada pangan, diharapkan berbuah produksi pangan meningkat, pendidikan dan karakter unggul tercipta, maka negara menjadi sejahtera dan kuat. Dalam hal ini, pemerintah perlu menyelaraskan pendidikan dan swasembada pangan era Prabowo hingga menyesuaikan regulasi politik yang mengikutinya. Celakanya, birokrasi Indonesia menerapkan sistem feodal persis seperti kerajaan. Bawahan diharapkan menunduk-nunduk pada atasan dan pelayanan publik dibuat sedemikian rumit, seolah publik yang melayani birokrasi. Birokrasi feodal seperti ini, mengingatkan kita pada feodalisme raja-raja zaman kolonial. Feodalisme, sederhananya, merupakan sistem sosial yang bertumpu kawula-gusti (atasan-bawahan) yang sangat kuat bersandar pada relasi sosial.pada masa lalu yang didasarkan pada status kebangsawanan dan kepemilikan tanah rakyat. Penguasa tak bisa dikritik, apalagi ditentang, karena rakyat bergantung padanya.
Cara pandang feodal terus terbawa dalam perpolitikan Indonesia. Model kekuasaan dimana elite penguasa yang juga hanya ingin dipatuhi tanpa kritik. Gelar kebangsawanan digantikan dengan jabatan politik dan gelar akademik sehingga banyak politikus gemar mengejar gelar akademik dengan segala cara.
Karena itu, kita harus kembali ke marwah UUD 1945 kepada naskah awal yang mengatakan, “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan (Machtsstaat). Namun, sayangnya belakangan ini hukum juga nyaris tak berdaya. Hukum dan tangan-tangan kekuasaan rasanya sudah memandulkan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi, sehingga pertumbuhan ekonomi dari kerjasama investasi, hilirisasi, dan perdagangan luar negeri harus mengalami kemunduran sehingga keterkaitan antara persoalan ekonomi dan politik minim dampaknya pada kesejahteraan rakyat.
Dalam hal kelembagaan Undang-Undang dan peraturan khususnya di bidang ekonomi dan politik yang menjadi proses demokrasi yang berkembang, tentunya harus lebih rasional dalam menarik investasi guna mendukung perekonomian dan industrialisasi.
Jurnalis terkemuka Rosihan Anwar (almarhum) pernah menyingkapkan bahwa ada “zitgeist” (roh zaman) pada setiap generasi. Generasi era perjuangan kemerdekaan menunjukkan perjuangan tanpa pamrih, kesetiakawanan,dan kejujuran. Partai politik dan pegiat politik masa itu memiliki ideologi. Seperti pepatah kuno Belanda, Leiden is lijden, memimpin adalah menderita. Bangsa ini punya beberapa tokoh besar yang bersih/sederhana dan berintegritas seperti yang ditunjukkan Haji Agus Salim, Bung Hatta dan Hoegeng Iman Santosa, Yap Thiam Hien, dan Artijo Alkostar, Mereka tokoh yang konsisten, satu kata dengan perbuatan. Sangat kontras dengan suasana kebatinan peristiwa kontemporer saat ini,ketika penegak hukum mengotori mata air keadilan, kebenaran ditransaksikan dengan korupsi seirama dengan perilaku elite politik yang gemar pamer kemewahan. Jauh dari empati rakyat, hanya pandai berteori, dan tidak ada kontribusinya dalam mengeliminasi korupsi di negara ini. Hanya terbatas pada jargon semata, tapi minim implementasi.
Paradigma konvensional tentang relasi negara-masyarakat yang identik dengan “power relationship” Begitu pula para pejabat negara menurut konsepsi “servant leadership”(Northouse, 2013) .Pejabat publik yang dipilih hendaknya menjadi pelayan orang banyak, untuk berpikir dan bertindak menjembatani keresahan situasional di tengah masyarakat. Di titik itulah mereka dimintai pertanggung jawaban, baik moral maupun hukum berbasis aturan main dalam ruang kekuasaan bernama Negara “Maatchstaat” itu tetap berfungsi. (Bersambung).