Martumba, Masihkah Anda Mengenalnya?
*Disarikan oleh Pdt. Daniel Napitupulu
Martumba merupakan bagian dari tarian tradisional Batak Toba. Menurut orang tua dulu, kata “tumba” berawal dari bunyi alu (andalu) yang menumbuk padi di lesung. Biasanya yang menumbuk padi adalah anak gadis terdiri dari dua orang. Kadang jika ada pemuda yang datang untuk mencari jodoh (martandang) maka pemuda tersebut ikut menumbuk padi.
Suara alu yang menumbuk padi tersebut terdengar bersahut-sahutan: tum…ba….tum…ba….tum…ba, jadilah kata “tumba”. Anak gadis dan pemuda tersebut bernyanyi dengan syair yang indah (berbalas pantun) mengikuti irama yang menumbuk padi.
Perkembangan selanjutnya, martumba ditata oleh seorang perempuan dengan mengatur irama tumba disesuaikan dengan lagu dan syair yang indah. Pada awalnya, martumba dilakukan pada malam hari di halaman rumah saat bulan purnama. Seiring perkembangan zaman, karena dipengaruhi kebiasaan dan kondisi kehidupan yang semakin maju, maka martumba ini tidak lagi dilakukan hanya pada malam hari, tetapi sesuai konteks kegiatan saat itu seperti pada pagi hari atau siang hari, para pelakunya juga bukan lagi orang dewasa, melainkan anak-anak dan remaja.
Tumba memiliki keunikan dibandingkan dengan tortor Batak, karena peserta membentuk lingkaran, kemudian menari sambil bernyanyi secara bersama-sama. Gerakannya: bertepuk tangan, melompat, mengangkat kaki. Nyanyian yang dilantunkan berisi pantun berkesan kata-kata bijak. Hentakan dalam setiap gerak dalam tari martumba ini memperlihatkan keharmonisan yang memiliki nilai seni sangat indah dalam tatanan estetika yang tinggi jika dibandingkan dengan sejumlah tarian modern lainnya.
Tarian martumba memiliki fungsi sebagai hiburan bagi masyarakat, juga memiliki fungsi sosial, yakni menjadi pola pembentukan kehidupan dalam masyarakat untuk menjalin kebersamaan, kekompakan dan membangun relasi yang baik, membangun komunikasi, belajar mencari jodoh, serta melatih kerjasama.