Media pun Berubah, Masihkah Anda Alergi?
Roger Fidler (1977) menciptakan istilah mediamorfosis pada tahun 1990 yang menjelaskan transformasi media komunikasi sebagai akibat dari interplay yang rumit dari kebutuhan-kebutuhan yang dibayangkan, tekanan-tekanan kompetitif, politis, dan inovasi-inovasi sosial dan teknologi.
Landasan utama adalah perubahan pengaruh media baru terhadap media lama (Komunikasi Siber). Bagi Fidler perubahan bukanlah sesuatu yang dinantikan orang atau bisa diprediksi dengan tepat, bahkan oleh penemu di bidang teknologi.
Esensi mediamorphosis adalah media merupakan sistem adaptif yang kompleks, sebagaimana sistem-sistem yang lain, sebagai bentuk respon terhadap tekanan eksternal dengan proses reorganisasi yang spontan.
Seperti halnya spesies hidup, media berevolusi menuju daya tahan hidup yang lebih tinggi dalam sebuah lingkungan yang selalu berubah. Dampak mediamorphosis berupa penggabungan segala jenis media, konvensional dengan digital), dan secara positif pengguna dapat mengontrol dan merespon secara langsung.
Prinsip kunci Mediamorphosis menurut Fidler :
- Koevolusi : bentuk komunikasi akan berevolusi secara bersamaan dengan susunan dan sistem komunikasi
- Konvergensi : Semua media digabungkan langsung dengan jaringan dan akses global
- Kompleksitas: selama terjadi perubahan besar, segala sesuatu di sekeliling kita mungkin tampak berada dalam kondisi kacau (chaos). Chaos akan melahirkan ketertiban, sistem yang kompleks akan adaptif dan responsif
Era 4.0 sebagai wujud baru relasi media dan budaya sejalan denganglobalisasi dini menurut Antony Giddens (1990): “adalah intesifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang sana dan begitu pula sebaliknya”
Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi menyebabkan:
- Distansiasi ruang-waktu (time-space distansiaciation)
- Pemadatan ruang-waktu (time-space compression)
Dampak globalisasi lebih berat kepada negara-negara dunia ketiga, semisal Indonesia yang menunjukkan wajah baru kekuasaan kapitalisme, bahkan dianggap sebagai ujung dari evolusi ideologi (termasuk agama) yang diyakini oleh Francis Fukuyama sebagai sinyal era “akhir sejarah” (The end of history).
Perubahan akibat globalisasi transformasi media didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang mengubahkan semua jenis sistem kerja, sistem produksi, sistem konsumsi, sistem interaksi, sistem transaksi, dan lain sebagainya yang tadinya konvensional menjadi serba digital.
Globalisasi transformasi media ibarat pedang bermata dua menjanjikan keterbukaan dan arus demokrasi yang mendunia (mondial) menyimpan “kutukan” berupa terciptanya berbagai ketergantungan yang begitu kuat, tidak hanya dari segi isi (content) atau pesan; tetapi juga dari segi penyediaan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) teknologi komunikasi dan informasi.
Sungguh kalimat-kalimat di atas sangat membingungkan dan mungkin rumit untuk dipahami. Namun sebenarnya yang hendak disampaikan adalah, kita mesti berubah. Manusia yang berakal budi diharapkan memegang kendali atas perubahan itu. Maka ketika perubahan adalah keniscayaan, kendali kita akan membuat dampaknya membahagiakan.