MENGELOLA LAUT SEBAGAI SUMBER KEHIDUPAN (BAGIAN 2)
Sang Nelayan yang Terpinggirkan
Kita menyadari nature Tanah Air kita Indonesia adalah suatu negara kepulauan (archipelago) negara-bangsa maritim yang berpenduduk 280 juta jiwa dengan daratan seluas hampir 2 juta kilometer persegi (km2) dan luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan garis pantai 104.000 km2 atau terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada. Memilki lebih 13.000 pulau serta memiliki potensi sumber daya alam demikian hebat dengan jumlah nelayan berkisar 2,74 juta yang sampai sekarang masih terbelenggu kemiskinan.
Kita boleh bangga punya frasa, “nenek moyangku orang pelaut”. Tetapi kenyataannya laut kita dijarah “orang asing”. Nelayan tergolong besar potensi, namun miskin finansial. Ringkasnya, di satu sisi berguna, tetapi di sisi lain terpinggirkan. Dia dibutuhkan, tetapi seolah tak perlu ditumbuh- kembangkan. Pasalnya, laut tak selalu ramah memberikan ikan dalam jumlah besar bagi nelayan. Di lain pihak, pencurian ikan oleh kapal asing di laut Indonesia semakin marak. Diperparah kasus pencurian ikan, penyelundupan BBM bersubsidi,ditengarai melibatkan sindikasi kapal asing dan jaringan nasional dinilai merupakan kejahatan lintas negara terorganisasi.
Di tengah kegairahan bangsa-bangsa lain mengeksplorasi sumber daya alam di laut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masa depan bangsanya, kita malah membiarkan laut menjadi ajang jarahan. Padahal,UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) mengamanatkan, “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Jangan sampai impian ini ditelikung oleh tiran populis yang mengistimewakan kaum oligarki untuk mengeksploitasi sumber daya alam kita untuk “sebesar-besar kemakmuran segelintir orang”, bukan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Tidak banyak negara di dunia yang memiliki sumber daya alam kekayaan laut seperti kelimpahan ikan, udang, dan rumput laut yang demikian hebat seperti Indonesia.
Potensi rumput laut saat ini menjadi salah satu komoditas unggulan untuk ekspor yang dinilai perlu ditingkatkan sebagai suplai pada rantai pasok global. Saat ini pasar rumput laut Indonesia dimasukkan sebagai produk organik telah diekspor ke China, Filipina, Jepang, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa. Rumput laut Indonesia jenis “cottonii” dan “gracilaria” tropis terbesar di dunia saat ini di ekspor dalam bentuk bahan baku kering. Upaya pengembangan industri rumput laut diikuti hilirisasi yang optimal berskala besar sedangkan dikembangkan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sejauh ini, kita masih memercayai untuk menumbuhkan daya imajinasi dan perluasan kognisi tentang corak maritim kita dalam mengelola laut sebagai sumber kehidupan.
Namun, tindakan negara tentang Investasi, mengilustrasikan ketiadaan pembelajaran. Rakyat kecil bolak-balik menjadi korban kebijakan penguasa. Investasi tidak sekadar menuntun kesadaran kolektif masyarakat atas nama pembangunan. Sebab, nelayan amat tergantung pada kelestarian kawasan pesisir dan laut. Sebagai contoh, sejak pemerintah menyatakan akan menggusur lima kampung untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City, Batam, Kepulauan Riau, kini menuai kekhawatiran dan keresahan karena nelayan nantinya susah cari makan. Proyek Investasi yang baik seharusnya mengutamakan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan. Mestinya pemerintah memastikan kelangsungan hidup nelayan dan keberpihakan melalui perlindungan mencari nafkah dari melaut. Namun, yang terjadi di Rempang, proyek Investasi justru meninggalkan luka di masyarakat. PSN bukan menyejahterakan, tetapi bagi nelayan itu musibah. Pemanfaatan investasi mengeksploitasi lingkungan sehingga hal ini menjadi titik krusial dalam aspek perlindungan nelayan. Nelayan menghendaki lingkungan darat dan laut tetap lestari seperti sedia kala. Segala kearifan lokal merupakan bukti harmonisasi manusia dengan alam atau lingkungan sejak dahulu. Jika alam mulai rusak, harmonisasi akan runtuh dan kehidupan manusia turut runtuh. Keruntuhan bisa terjadi, saat hutannya hilang dan laut tercemar, bisa juga menjadi cerminan keterpautan darat dan laut agar dijaga tetap lestari.
Perubahan iklim juga disebut sebagai faktor penyebab degradasi martabat manusia. Alasannya,perubahan iklim dan penurunan daya dukung lingkungan membuat sebagian besar manusia kian sulit memenuhi kebutuhan hidup. Hidup manusia terancam. Tidak sedikit nelayan rugi besar akibat cuaca yang tak menentu atau cuaca ekstrem berupa hujan sangat deras atau suhu udara sangat tinggi.
(Bersambung)