MENGELOLA LAUT SEBAGAI SUMBER KEHIDUPAN (BAGIAN 3)
Visi Kesejahteraan dan Lingkungan
Visi dan tujuan utama dalam pembangunan ekonomi adalah kesejahteraan. Ukuran kesejahteraan dapat tercermin dari peningkatan nilai tukar nelayan (NTN) yakni peningkatan sumbangan pajak negara, pertumbuhan jumlah usaha, dan penyerapan tenaga kerja.
Nelayan kita mendambakan hidup dengan pendapatan yang menyenangkan dan hidup bermakna selaras kodrat negara kepulauan Indonesia yang kaya laut dan isinya. Namun, realitasnya kini, hal itu jauh dari harapan karena tidak adanya keberpihakan dari pemerintah. Nelayan yang terpapar masalah, seperti masalah kemiskinan, perubahan iklim, dan disrupsi digital, bahwa mereka adalah golongan yang tertimpa masalah dan menjadi korban masalah berikutnya dari kebijakan ekspor hasil laut. Kita terlalu nyaman dengan kondisi kita sekarang ini, mengekspor yang kita sukai seperti ekspor benih bening lobster, sehingga harapan akan kembali ke corak maritim yang sebenarnya terdengar terasa asing.
Lobster merupakan satu dari lima komoditas unggulan perikanan budidaya yang disusun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam program kerja berbasis ekonomi biru. Disamping lobster, komoditas unggulan budidaya laut lainnya adalah udang, rumput laut, nila salin, dan kepiting. Aturan buka tutup ekspor benih lobster telah berulangkali dilakukan.KKP pernah menutup keran ekspor benih bening lobster pada 2015-2019, lalu membukanya lagi pada Mei 2020. Namun, pada 26 November 2020 menutup sementara ekspor benih lobster menyusul kasus suap perizinan usaha budidaya dan ekspor benih lobster yang menyeret Menteri KKP, Edhy Prabowo. Pada tahun 2021, KKP menetapkan larangan ekspor bening bening lobster. Namun tahun 2024 ini, lagi-lagi KKP membuka kembali izin ekspor. Pembukaan ekspor, bahkan tak cegah penyelundupan benih bening lobster pun berulang, mengingatkan kita akan ungkapan klasik sebelum Perang Dunia I pecah (1914-1918), “La historia return-cerita berulang”.
Begitu pula pada implementasi Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengusahaan Pasir Laut, nuansa ekspor pasir muncul. Hal itu termuat pada PP Nomor 26/ 2023, pasal 9 Ayat (2) menyebutkan, ekspor pasir dapat dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan perundang-undang, mengusik/mengempaskan mimpi nelayan atas perbaikan kehidupan nelayan dalam mengelola laut.
Bagaimana Duct in altum -masuk lebih-dapat terwujud jika cerita berulang pada nuansa ekspor dan kerusakan lingkungan terus mengancam? Bukankah aktivitas kapal-kapal keruk untuk pemanfaatan sedimentasi pasir laut tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat? Dampak negatif yang muncul dari aktivitas ini, antara lain, kerusakan ekosistem laut, menurunnya keanekaragaman hayati, perubahan terhadap arus laut dan pola pasang surut, erosi dan abrasi pantai yang berdampak pada kerusakan infrasruktur yang berada di pesisir, dan menyumbang emisi karena operasi kapal-kapal pengeruk dan pengisap pasir laut.
Bagaimana pula nelayan Indonesia dapat meningkatkan pendapatan percapita dengan mengandalkan ketersediaan lapangan kerja di Laut,padahal infrastruktur dan pelayanan dasar kelautan lainnya belum memadai ? Kita tahu, bekerja di laut memiliki tantangan dengan kompleksitas tinggi dibanding di darat. Menjadi nelayan misalnya, meski resiko dan tuntutan keahliannya tinggi, standar pengupahan dan perlindungan jaminan sosialnya belum memadai. Sementara daya beli nelayan selalu terpuruk di tengah pendapatan yang stagnan.
Kondisi nelayan di Indonesia belakangan ini kian sulit, terutama nelayan kecil dan tradisional. Biaya kebutuhan hidup semakin sulit, dengan pendapatan yang kian menyusut. Nilai tukar nelayan (NTN) terus melandai karena bahan kebutuhan pokok yang terus meningkat berkelindan dengan sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Nelayan kecil terpaksa membeli BBM secara eceran dengan harga yang lebih tinggi. Sementara harga ikan dari hasil melaut menurun.
Beban hidup nelayan semakin berat ditambah faktor musim dan perubahan cuaca yang menyebabkan beberapa jenis ikan sulit dicari. Kondisi ini diperburuk dengan masih beroperasinya alat-alat tangkap ikan yang merusak sejenis pukat harimau.
Tantangan berikutnya, penegakan hukum di perbatasan laut. Tidak sedikit nelayan kita ditangkap aparat dengan mengkriminalkan nelayan tradisional yang melaut di perairan perbatasan sengketa negara. Tak terbantahkan, ada berbagai persoalan terhadap konflik sengketa perbatasan laut, seperti di Natuna perbatasan Kepualauan Riau (Kepri) dengan Malaysia. Kegelisahan muncul setelah melihat potensi tergerusnya kepastian hukum yang ditopang oleh benih ketidakpercayaan (distrust) kepada aparat menguat.
Pemerintah pusat dan daerah dapat memperkuat pembahasan tata ruang laut nasional dengan memfasilitasi masyarakat menyusun peta jalur dan lokasi penangkapan ikan nelayan tradisional, peta sebaran wailayah masyarakat adat di laut, peta pelayaran rakyat, dan peta migrasi ikan. Sederet peta ini menjadi visi kesejahteraan dan lingkungan guna mencegah konflik perebutan pemanfaatan ruang di seluruh perairan Indonesia. Kita juga perlu memahami visi kesejahteraan nelayan dengan memperkuat fondasi masyarakat Indonesia, melalui kesetiaan kepada alam kulturalnya untuk bertahan sebagai nelayan dijadikan agenda mendesak menuntut perbaikan. Apalagi perbaikan dimaksud adalah untuk mengurangi dampak buruk terjadinya bencana akibat kerusakan lingkungan hidup atau bencana lingkungan. Kerusakan sumber daya laut dan dampak negatif yang mengikutinya begitu besar akibat perilaku para pemanfaat di lapangan tidak dapat mengendalikan diri dari perbuatan tercela.
Karena itu, perlu mengurangi dampak buruk kerusakan lingkungan agar fungsinya berkelanjutan dengan
mengedepankan keseimbangan antara upaya meningkatkan pertumbuhan global dan pembangunan berwawasan lingkungan. Mendorong “ekonomi hijau” (green economy) dan blue economy yang menjadikan laut sebagai bagian integral untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals). Optimalisasi sumber daya laut perlu mempertimbangkan kualitas dan dan daya dukung lingkungan memungkinkan Indonesia dipandang sebagai “megabiodiversity”. Menjadikan laut sebagai sumber kehidupan perlu ditopang visi industri kelautan diiringi profesionalisme dan daya saing yang unggul, agar lumbung-lumbung ikan di seantero negeri membuat nelayan kita bisa makmur. Biarlah manusia memelihara dan mendayagunakan laut sebagaimana seharusnya untuk kesejahteraan banyak orang terutama para nelayan. Aspek inilah yang dapat membuat sektor kelautan kita tidak hanya penting dari sisi ekonomi, tetapi juga bagi visi keseimbangan ekosistem nasional dan dunia.
(Selesai)