Mengusahakan Tanah Dan Menjaga Keseimbangan Bumi (Bagian 2)

 Mengusahakan Tanah Dan Menjaga Keseimbangan Bumi (Bagian 2)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Komitmen Menjaga Bumi Dan Antisipasi Perubahan Iklim

Seiring perjalanan waktu keseimbangan Bumi terus mengalami gangguan. Hal ini terjadi akibat pertambahan penduduk yang semakin pesat dimana membutuhkan sandang, pangan, dan papan. Telah terjadi pula pergeseran paradigma, dimana melalui pertumbuhan ekonomi dianggap dapat memberikan kesejahteraan pada manusia. Hal ini mendorong manusia untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran seperti tambang dan energi, hutan, eksploitasi laut sehingga terjadinya emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim. Situasi ini dianggap awal dari krisis lingkungan dimana pertumbuhan ekonomi telah merusak lingkungan hidup.

Kini kita memang hidup di era globalisasi yang penuh dinamika. Semua dinamika itu mengerucut pada anisipasi perubahan iklim. Kecemasan warga dunia mengemuka setelah mengetahui Bumi tak selalu ramah. Bumi semakin panas dan permukaan laut makin meninggi. Warga dunia harus bahu-membahu mempersiapkan diri menghadapi pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim. Berbagai upaya diperkenalkan dan diejawantahkan diantaranya  Suistanable Development Goals (SDGs) dan menerapkan berbagai aksi sesuai prinsip, Enviroment, Social, and Governance (ESG). Keduanya membahas isue sangat penting, yakni pembangunan berkelanjutan dan kegiatan investasi hijau dan ekonomi hijau bagi pelaku usaha.  Segala ikhtiar ini adalah demi warga dunia dan demi menjaga Bumi yang lebih baik bagi semua.

Hal ini menghadirkan tantangan untuk antisipasi perubahan iklim, menavigasi transisi teknologi energi bersih, mengamankan investasi besar, dan membina kerjasama global.

Tak hanya sampai disitu. Ketegangan geopolitik akibat klaim tanah yang dipersengketakan menyengsarakan masyarakat, akibat perang tak berkesudahan. Bahkan, menaikkan resiko konflik dan ketidakstabilan global yang membuat dunia makin terpolarisasi akibat konflik dan perang yang tak kunjung selesai. Ambil contoh, perang Rusia-Ukraina dan perang Iran- Israel di jalur Gaza serta beberapa negara di Asia dan Afrika membuat jutaan warga menjadi pengungsi.

Catatan terbaru Komisi Tinggi PBB (UNHCR) menyebutkan 130 juta orang kini menjadi pengungsi. Sebsgian besar perang dipicu perebutan kekuasaan atas tanah. Tak hanya itu. Perang dan pengungsi erat hubungannya dengan kemiskinan dan kesenjangan. Kita pun paham, akibat perang warga dunia menghadapi biaya hidup serta berlanjutnya ketidakpastian perekonomian di banyak negara tanpa dibarengi peningkatan pendapatan. Situasi ini sangat memilukan.

Tak dapat dipungkiri, perang pun membuat terganggunya pngusahaan tanah dalam  menjaga bumi dengan para penghuninya yang akan berdampak buruk bagi atmosfer SDGs dan ESG.

Pada saat ini Indonesia, dalam langkah strategis dekarbonisasi global kian dinantikan dengan memprioritaskan pertumbuhan hijau yang ramah lingkungan, dan membuka jalan baru pertumbuhan ekonomi dan inovasi global. Banyak pengetahuan berbasis kearifan lokal yang memiliki potensi menjadi solusi masalah- masalah yang dihadapi Indonesia saat ini tentang keseimbangan Bumi. Perlu kesungguhan untuk menggali, menyempurnakan dan kemudian merawat pengetahuan tersebut untuk Indonesia yang lebih baik.

Pasalnya,sebagaimana kita ketahui struktur ekonomi Indonesia didominasi  sektor pertanian dan pertambangan menyisakan problem tersendiri.

Sektor pertanian yang menghasilkan pangan sangat dibutuhkan karena penduduknya yang besar pasti membutuhkan pangan yang besar pula, namun hingga kini pangan sebagian masih impor. 

Sementara sektor pertambangan dan energi menyumbang sekitar sepertiga emisi nasional. Kekayaan mineral seperti nikel sebagai bahan pembuat baterei kendaraan listrik menempatkan Indonesia sebagai pemain utama di sisi pasokan di pasar dekarbonisasi terus membayangi. 

Dalam perspektif neraca perdagangan, kegiatan ekspor-impor penting dalam perekonomian Indonesia. Betapa tidak, kegiatan ekspor menghasilkan dollar AS, sedangkan impor memerlukan dollar AS. 

Postur neraca perdagangan Indonesia masih didominasi ekspor komoditas terutama dari batubara dan minyak sawit mentah (CPO).

Celakanya, realisasi produksi atau lifting minyak dan gas  (migas) di dalam negeri terus anjlok dan tidak sesuai dengan yang ditargetkan dalam APBN. Kondisi ini mendorong harus terus-menerus mengimpor migas dengan trend yang meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat hampir satu juta barel per-hari (bph) Indonesia mengimpor minyak mentah dari berbagai negara.

Trend ekspor dan impor dalam neraca perdagangan mencemaskan beberapa bulan terakhir akibat perlambatan ekonomi

global sehingga memperparah defisit neraca transaksi berjalan dan defisit APBN. Sebab, rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio) yang terlalu mengandalkan pinjaman eksternal untuk membiayai ekspansi dan aksi korporasi pada akhirnya akan berdampak pada ketahanan eksternal Indonesia.

Masalah lainnya yang disorot publik lebih dari setahun terakhir seiring maraknya alih fungsi lahan.  Salah satu upaya yang perlu dilakukan segera adalah menghentikan alih fungsi lahan pertanian produktif. Hal ini dapat diupayakan dengan memperketat izin alih fungsi sawah produktif ke penggunaan non-pertanian.

Merujuk data Kementerian Agraria dan Tata ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada 2022, rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah di Indonesia berkisar 100.000- 150.000 hektar per tahun. Adapun Kementerian Pertanian mencatat, selama kurun waktu lima tahun, luas sawah berkurang dari 8,1 juta hektar pada 2015 menjadi 7,5 juta hektar pada 2019.

Sementara pada Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti  proyek lumbung pangan (food estate) dan tetkait pemindahan ibukota negara ke Ibu Kota Nusantara ( IKN) di Kalimantan Timur. Tidak hanya menyangkut pembangunan infrastruktur, tapi juga penawaran investasi kepada “Family Office”. Pemerintah menyiapkan _karpet merah_ untuk keluarga superkaya dari berbagai negara agar mereka dapat menanamkan dananya di Indonesia. Tentu kita ingin “family office” dilakukan dengan hati-hati  dan cermat mulai dari kepastian hukum hingga iklim berusaha yang menjanjikan. Masa kerja pemerintahan terbatas hanya 5-10 tahun, tetapi tidak boleh jadi penghambat peran Indonesia dalam upaya pengusahaan tanah,penawaran investasi,pengurangan emisi, dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

Mundurnya dua pejabat penting proyek IKN,yakni Kepala Otorita IKN Bambang Susantono dan Wakil Kepala Otorita IKN Dhony Rahajoe, patut disesalkan. Sejumlah media mengaitkan mundurnya kedua pejabat tersebut berkaitan dengan belum selesainya pembebasan tanah 2.806 hektar tanah di lokasi IKN tersebut yang telah tertuang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW).  Pembangunan sering dituduh sebagai sumber masalah/ bencana karena ada anggapan pemerintah dituduh takluk pada arus global yaitu, pasar dan pelaku usaha. Kaum elit dicurigai menikmati keadaan itu.

Semua kritik itu berdasar pada kehidupan berjalan secara otomatis melarutkan kita dalam rutinitas seolah tidak terjadi apa-apa, sehingga kadang kita tidak sadar bahwa alih fungsi, pencaplokan tanah ulayat oleh korporasi, pembalakan hutan ilegal, pengerukan tambang secara serampangan hingga korupsi yang mengikutinya. Sayangnya, selama ini rakyat mendapat informasi bahwa kehadiran negara tidak begitu jelas regulasinya sehingga krisis ekosistem lingkungan hidup dan penguasaan tanah kerap mengorbankan masyarakat. Alih fungsi lahan sejatinya telah diantisipasi dengan UU No.4/ 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun, di sisi lain konversi tetap berjalan dan terus menggerus ketidakpercayaan (distrust) masyarakat.

Berita sengkarut penguasaan tanah dan hukum muncul bertubi-tubi. Kita masih ingat, tagar “All Eyes on Papua” sempat menjadi viral di media sosial kita dan sudah dibagikan lebih dari 3 juta kali dan cerita kelam yang mengiringinya. Menyoroti tentang tanah ulayat milik masyarakat adat yang mulai tergusur oleh kehadiran perkebunan kelapa sawit milik beberapa perusahaan besar. 

Masyarakat adat yang diwakili oleh suku Awyu merintih perih, mengeluhkan nasib masa depan tanah pusaka mereka yang digusur atau dicaplok korporasi.

Derita dan nestapa Tanah Papua tidak kunjung sirna. Ketertinggalan masyarakat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi,ekologi hingga tanah mereka digusur serta diperlakukan sebagai obyek pembangunan terus berlanjut.

Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh stakeholder, pelaku usaha,masyarakat dan keterlibatan unsur-unsur lain  perlu didorong untuk memperbanyak forum dialog yang melibatkan seluas-luasnya pihak terkait berdasarkan perannya masing-masing untuk mengelola Tanah sebagi sumber kehidupan. (Bersambung).

Related post