Mengusahakan Tanah Dan Menjaga Keseimbangan Bumi (Bagian 3)
Mengeja Ulang SDGs
Mengusahakan Tanah dan menjaga keseimbangan Bumi bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan cara-cara baru mulai dari proses produksi, konsumsi hingga distribusi yang lebih berorientasi pada terjaganya daya dukung lingkungan. Hal ini perlu dipahami karena dalam beberapa tahun terakhir warga dunia diliputi rasa cemas dan khawatir akibat dampak degradasi ekologis yang mendera. Degradasi ekologis ditengarai akibat perubahan iklim dalam berbagai wujud, mulai dari kerusakan lingkungan, kemunculan wabah penyakit, terjadinya konflik sosial hingga kemiskinan yang kian kian hari kian melebar. Industrialisasi, kapitalisme, korporatisme dan neoliberalisme juga melanda dan menjadi tantangan dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Keprihatinan itu memerlukan upaya mengeja ulang pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang dihadapkan pada berbagai tantangan.
Pada saat yang sama, masyarakat global bergulat dengan dampak cuaca ekstrem akibat perubahan iklim. Banyak persoalan dihadapi warga dunia, baik itu karena perang, bencana alam, maupun kemiskinan dan kesenjangan karena sengketa penguasaan tanah.
Bercermin dari pertikaian atas penguasaan tanah kita harus menemukan kembali peran akal sehat dan nurani.
Francis Bacon bilang bahwa “Knowledge is power”. Peran riset dan sains sangatlah penting. Hal ini perlu didukung ekosistem informasi dan data yang memadai. Sebab, segala kebijakan tidak bisa dibuat ugal-ugalan tanpa bahan evidence (bukti) data.
Bank Dunia menyatakan, sebanyak 2,5 milliar penduduk dunia, atau sekitar satu dari tiga orang mengandalkan tanah, SDA, dan ekosistem sebagai mata pencaharian untuk hidup sejahtera. Namun, terjadi paradoks ketimpangan dikarenakan 70 persen penduduk dunia tidak memiliki jaminan atas hak tanah. Bank Dunia lalu mendikung Percepatan Reforma Agraria atsu Program to Accelerate Agrarian Reform (One Map Project). Reformasi Agraria dimaksud mengedepankan pada admininstrasi pertanahan melalui legalisasi atau sertifikasi tanah. Kemudian juga menyiapkan tanah bagi kepentingan investasi dan pembangunan. Tugas untuk menjalankannya dilakukan oleh Badan Bank Tanah. Patut dipahami bahwa arus utama untuk mengurai peluang menciptakan pasar tanah.
Krisis iklim membuat masa depan dunia mencemaskan. Cepat atau lambat, standard lingkungan, sosial dan tata kelola (Environment, Social, Governance/ESG) sudah dianggap given dan saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan. Sementara penguasaan cadangan nikel terbesar di dunia tidak serta merta membuat Indonesia menarik untuk investasi hingga menjadi pemain kunci dalam industri kendaraan listrik. Kebijakan hilirisasi mesti dibarengi dengan keselarasan arah pembangunan industri baterai global dan isue lingkungan yang mengemuka.
Pertanyaannya, apakah pemerintah Indonesia memiliki kebijakan yang tepat untuk tidak lagi bergantung pada produk berbasis tambang dan hutan yang mengeksploitasi lingkungan?
Kini, kita memang hidup di era globalisasi yang menuntut SDGs hingga ESG yang penuh dinamika. Hal ini perlu ditangkap pelaku usaha di Indonesia sebagai upaya berbenah diri demi menyongsong keberlanjutan.
Terkait masalah penambangan yang dinilai merusak ekosistem alam secara tidak bertanggungjawab, penerapan hukum dan penghormatan terhadap masyarakat adat perlu mendapat perhatian. Kita juga perlu membenahi kinerja manufaktur terkait daya saing, nilai tambah, memperbaiki iklim investasi dan kebijakan industri dan perdagangan yang menghambat, serta mendorong diversifikasi produk dan pasar.
Hal ini semestinya dipahami seluruh stakeholder dan masyarakat agar langkah kita berorientasi pada terjaganya keseimbangan Bumi dan daya dukung lingkungannya. (Selesai).