Pdt. Gomar Gultom: “Benarkah agama menyelesaikan masalah?”*
*Disampaikan pada Dialog Nasional Antar Umat Beragama pada Senin, 26 September 2022 di Gedung Sopo Marpingkir HKBP
Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indoenesia) Pdt. Gomar Gultom menyatakan betapa seringnya masyarakat menganggap bahwa agama menyelesaikan masalah dan agama itu membawa damai sejahtera.
Meski sebenarnya, kita harus jujur mengakui bahwa dalam diri agama ada sifat ambigu. Di dalam agama ada titik temu dan sekaligus titik tengkar. Jangankan antar agama, internal agama saja titik tengkarnya gak ketulungan.
Saat ini kita berhadapan dengan aliran ekstrimis, radikalisme yang ada hampir di semua agama dan yang lahir dari fundamentalisme. Untuk menghadapinya, Pdt. Gomar mengutip perkataan Franz Magnis Suseno yang mengatakan “mari kita menjadi ekstrim tengah”.
Ekstrim tengah ini bertumpu pada menghindari pendekatan-pendekatan formalistik dan dogmatisme keagamaan, tetapi memasuki kehidupan beragama yang sangat substansial, seperti istilah Gus Dur “beragama secara cerdas”. Upaya menjalani kehidupan beragama secara cerdas diharapkan dapat lahir melalui pendekatan atau dialog antar umat beragama.
Namun yang menjadi persoalan adalah betapa seringnya dialog antara agama itu sangat artifisial. Artinya, dialog itu lancar di lapisan atas namun tidak nyambung ke lapisan bawah apalagi tidak nyambung dalam bentuk aksi nyata. Oleh sebab itu dibutuhkan aksi bersama sebagai bagian dari dialog antar umat beragama di Indonesia.
Pdt. Gomar Gultom menyatakan bahwa secara NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), seluruh lembaga keagamaan sudah tuntas dalam berdialog dalam bingkai kebangsaan. Ia mencontohkan Soegijapranata yang mencetuskan semboyan Katolik 100% dan Indonesia 100% serta Sam Ratulangi dengan pernyataannya Yesus Kristus dalam kebangsaan dan kebangsaan dalam Yesus Kristus.
Namun kenyataan di lapangan, umat beragama ada dalam kondisi tidak adil, miskin dan tidak sejahtera. Artinya, Pancasila yang disepakati sebagai dasar negara ternyata tidak menjamin kehidupan warganya, sehingga membuat masyarakat kehilangan harapan.
Akhirnya, ketika ada sesuatu yang menjanjikan, apalagi dengan iming-iming disambut dengan bidadari di sorga, itu benar-benar menggiurkan, memberi harapan baru dan membuat orang berpindah dengan cepat dan mengikuti aliran ekstrimis agama.
Ekstrimisme ada dimana-mana. Itu bisa lahir karena dorongan agama tapi bisa juga lahir karena kemiskinan dan ketidakadilan.
Oleh sebab itu, dialog antar umat beragama diharapkan dapat menjadi suatu kekuatan bersama sesama warga bangsa untuk mengentaskan kemiskinan dan ketidakadilan, sebab konteks yang dihadapi umat beragama dalam NKRI saat ini adalah persoalan kemiskinan dan ketidakadilan.