Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)
Pada sistem negara Kerajaan kuno, kekuasaan itu dipegang penuh oleh raja. Kekuasaan pemerintahan, pembuat undang-undang dan pengadilan dipegang oleh raja. Kekuasaan kepemerintahan terlihat dimana raja mengatur para menterinya atau pembantunya. Seorang raja dapat memerintahkan tentaranya untuk berperang melawan negara lain. Seorang raja juga pembuat Undang-undang, titah raja merupakan undang-undang yang berlaku di kerajaannya. Seorang raja juga merupakan hakim yang dapat menentukan apakah orang itu bersalah atau tidak. Kekuasaan yang mutlak itu dapat menyebabkan kesewenang-wenangan. Ada ungkapan abslute power tends to abuse of power (kekuasaan yang mutlak cenderung melakukan penyalahgunaan kekuasaan).
Di abad pertengahan di Eropa terjadi gejolak antara raja, pejabat gereja dan para bangsawan atas kekuasaan raja yang terlalu mutlak. Pada tanggal 15 Juni 2015 di tanda tangani suatu piagam di Inggris pada masa raja John yang dikenal Magna Carta Libertatum (Piagam Besar untuk kebebasan). Magna carta ini adalah hasil dari perselisihan antara Paus, raja John dan para bangsawan atas hak-hak raja. Semenjak itu kekuasaan raja dibatasi dan tidak seperti sebelumnya. Magna Carta ini merupakan Langkah proses sejarah yang Panjang menuju pembuatan hukum konstitusional. Para tokoh intelektual hukum dan politik di Eropah seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes yang mengkaji ulang konsep kekuasaan suatu negara atau kerajaan yang harus diberlakukan. Konsep pemisahan kekuasaan yang di gagas oleh Montesquieu yaitu konsep trias politica : Kekuasaan ekskutif, legislative, judikatif. Di negara demokratis Kekuasaan pemerintahan di pegang oleh presiden, kekuasaan pembuat undang-undang dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, kekuasaan pengadilan di pegang oleh Mahkamah Agung. Dengan adanya pemisahaan kekuasaan tercipta check and balances antar lembaga negara.