Perang Bersepuh Ekonomi dan Keseimbangan Baru (Bagian 1)
“Si Vis Pacem Para Bellum.” Pesan ini ditulis filsuf militer Romawi, Publius Flavius Vegetius Renatus. Artinya, jika mendambakan perdamaian, bersiaplah menghadapi perang. Kini, diplesetkan orang-orang menjadi, jika mendambakan kemakmuran, bersiaplah berperang. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga,sebab dibalik peristiwa konflik bersenjata, apakah itu kudeta atau perang fisik ada godaan nikmatnya kisah kelam perang demi kelangsungan ekonomi atau bisnis.
Mendefenisikan “perang” memanglah tidaklah sederhana. Yang jelas, perang membawa nestapa dan menyengsarakan. Ia hadir dalam perseteruan, permusuhan sekaligus kesedihan. Peperangan nyata di dunia ini banyak macamnya, ada perang fisik dan banyak pula perang bersepuh ekonomi, yakni “demi ekonomi” dan “berdampak ekonomi”. Penggunaan diksi ” perang fisik” misalnya bisa merujuk PD II berupa kontestasi kekuatan yang berbiaya besar. Jenderal Douglas Mac Arthur merebut pulau Formosa (Taiwan), sementara Jepang merangsek Pearl Harbour. Amerika Serikat (AS) dan Jepang kala itu kehilangan puluhan kapal perang, ratusan pesawat tempur dan ribuan pasukan. Kehilangan itu mengacaukan geoekonomi AS dan Jepang bertahun-tahun. Kita tidak bisa benar- benar mengetahui secara utuh siapa yang memulai perang, tetapi kita dapat mengetahui dampak buruk akibat perang. Ada puluhan ribu tentara tertawan, cidera, hingga tewas. Belum lagi kisah kelam pengungsi dan kemelut yang mengikutinya. Di dalam beberapa kasus,untuk mencari kehidupan yang layak dengan kondisi hidup tak menentu beberapa pengungsi berlayar menempuh jalur laut. Saat berada di laut lepas, mereka kehilangan kendali, ada yang tenggelam, ada yang terkatung-katung di tengah laut, dan ada yang meninggal di laut serta jenazahnya pun dilarung ke laut. Belum lagi di dalam beberapa kasus, pengungsi ditolak oleh negara tujuan.
Kita sejenak berpaling kepada dua negara berseteru dengan warna dan konteks berbeda yaitu perang bersepuh ekonomi yang terjadi di Myanmar dan perang Rusia-Ukraina. Adapun,kudeta militer di Myanmar, disebut “demi ekonomi”, diduga tidak terlepas dari kekhawatiran para Jenderal, baik yang masih aktif maupun yang telah pensiun, kehilangan cengkeraman pada gurita ekonomi/ bisnis yang selama ini mereka kuasai. Memerintah selama hampir setengah abad petinggi militer sudah memperkaya diri sendiri tiba-tiba membuat elite militer merasa terusik oleh menguatnya demokrasi dan kekuasaan sipil, sehingga terjadilah kudeta pada tanggal 1 Februari 2021.
Laporan sebuah organisasi non-profit Justice for Myanmar menyebutkan dana besar melalui dua unit raksasa milik negara yang dikendalikan militer, yaitu Myanmar Economic Holding Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC). Dua unit usaha ini setidaknya membawahi 133 perusahaan dengan bisnis inti yang bermacam-macam, mulai bir, tembakau, transportasi,tekstil, perbankan, hingga pertambangan. Salah satu bisnis pertambangan yang menguntungkan adalah bisnis giok dan rubi. Perusahaan MEHL, Myanmar Imperial Jade Co. Ltd yang bermitra dengan perusahaan lain dari China, Jepang, Korsel, dan Singapura diketahui merupakan pemilik izin pertambangan terbesar di Myanmar. Menurut laporan Global Witness, pemegang saham mayoritas adalah pejabat militer dan pensiunan militer. Diantaranya pemimpin kudeta militer Jenderal Min Aung Hlaing, salah satu pemegang saham mayoritas. Meski Myanmar diakui sebagai penghasil giok terbesar di dunia dengan nilai perdagangannya miliaran dollar AS, hanya sebagian kecil yang masuk ke kas negara. Sementara beberapa petinggi militer Myanmar memiliki banyak investasi pribadi dan rekening Bank di Singapura sejak tahun 2000-an, dan terus meningkat pula dalam beberapa tahun terakhir.
Ketegangan geopolitik buntut invasi Rusia ke Ukraina, 24 Februari 2022, disebut “berdampak ekonomi”, menimbulkan disrupsi rantai pasok global yang memicu krisis pangan dan energi. Tak ketinggalan lonjakan inflasi dan meningkatnya utang negara di berbagai belahan dunia. Serangan ini menjadi puncak dari krisis yang mendera wilayah perbatasan kedua negara. Kekhawatiran Rusia jika Ukraina menjadi anggota NATO, pakta pertahanan yang dipimpin AS dinilai sudah melanggar batas kepatutan. Selain itu, perlu diketahui unsur primordial dan kesejarahan Ukraina guna mendapat gambaran umum hubungan Rusia-Ukraina selain dinamika politik. Selama Ukraina netral dalam lingkup geopolitik Rusia, tidak bergabung dengan NATO, Ukraina mungkin akan dilindungi sebab Ukraina memiliki instalasi nuklir dan pabrik kimia yang semula dibangun Uni Soviet kala Ukraina menjadi negara satelitnya. Karena itu,pelucutan sebelum jatuh ke pihak NATO dapat dipandang sebagai aksi preventif membela diri bagi Rusia. Implikasinya,perang berkepanjangan menekan ekonomi global. Penerapan blokade ekonomi oleh AS dan sekutunya memicu perburukan perekonomian yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kedua negara, tetapi turut berdampak pada masyarakat global, termasuk negara- negara non-blok seperti Indonesia sehingga membutuhkan resiliensi.
Palagan terus membara di Rusia dan Ukraina. Di tengah situasi perang yang tampaknya terus bereskalasi,imbauan untuk membuka ruang dialog belum direspons, sehingga titik cerah perdamaian belum terlihat.Tatanan dunia telah terbangun diatas anarkisme. Gejala dikotomistis pengutuban politik adalah hal lumrah. Pengutuban akibat alamiah dari persaingan antarkelompok yang berhadapan dalam perang. Tidak ada sistem hukum dan lembaga yang bisa efektif mengatur kelakuan setiap negara. Dan, bilamana ada konflik bersenjata atau perang yang selalu didahulukan setiap negara adalah kepentingan nasional masing-masing. Betapa hidup di dalam ketakutan menderita dalam “risk lock” sebuah kondisi yang membuat kita tak melakukan apa pun atau tidak menuju ke mana pun. Rasanya tidak ada manusia yang menyukai penderitaan dan ketidakpastian seperti itu. Kita harus berani melangkah bukan sibuk “meratapi nasib” serta menghindari resiko melainkan melangkah dan berjalan meniti peta jalan menuju keseimbangan baru. Hal inilah yang rasional dilakukan oleh negara untuk bertahan dan mengamankan kepentingan nasionalnya.
(Bersambung)