Perdagangan Orang Musuh Segala Bangsa (Bagian 1)
Catatan Pengantar
Pada Tahun 2045, Indonesia akan memasuki usia emas. Di saat itulah, Indonesia diharapkan bisa menjadi negara dengan berpendapatan tinggi setara dengan negara maju. Keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen hingga 2045. Peluang bonus demografi turut mewarnai perlu dimanfaatkan secara optimal dengan menjadikan pembangunan manusia sebagai prioritas, beririsan dengan kemunculan perdagangan manusia atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) menjadi musuh segala bangsa sebagai ancaman.
Dengan mencermati fenomena ini, pemerintah Indonesia perlu menyikapinya secara bijak. Motif utamanya (basic instinct) pada hakekatnya, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sekaligus untuk menghapus kemiskinan. Hal ini menuntut perencanaan dan perumusan strategi yang optimal dari banyak lini agar bonus demografi menjadi berkah bagi negara, bukan sebaliknya, menjadi bencana karena menimbulkan banyak penganggur.
Pertama,terkait penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan, pemerintah harus mengupayakan agar setiap investasi yang masuk diarahkan dapat menyediakan banyak lapangan kerja yang bersifat padat karya sehingga tenaga kerja lokal terlindungi dan sejahtera.
Kedua, kegagalan menghadirkan kesejahteraan rakyat, merupakan akar kegelisahan yang memunculkan perdagangan orang. Akar kegelisahan berawal dari kemiskinan jadi tantangan, suap masih membayangi kinerja penegakan hukum merambah pada ketamakan, mementingkan diri sendiri (keegoisan) dan korupsi yang menggila yang membusukkan kita pada keambrukan moralitas. Manusia dengan libido indrawinya selalu mengejar kesenangan dan kejayaan hedonis duniawi. Meskipun, kerap gelimang kemewahan duniawi itu diperoleh dari korupsi, gratifikasi dengan tindakan serakah,tamak, sombong yang merusak kehidupan.
Ketiga, kita kehilangan motivasi dan moralitas karena kita sudah kehilangan perspektif. Karena keterbatasan pemerintah menyediakan lapangan kerja atau mengurangi pengangguran menjadikan pekerja migran indonesia (PMI) menjadi pilihan. Mimpi membantu perekonomian keluarga mengakibatkan anak-anak dan perempuan di pelosok tanah air jatuh dalam cengkeraman agen-agen PMI sebagai jalan pintas mendapatkan keuntungan menuju lembah perdagangan orang (TPPO) antarnegara.
Tipuan lowongan kerja sebagai pintu masuk TPPO hingga menjerat anak -anak dan perempuan dibawah umur masuk ke dunia prostitusi. Motif ekonomi senantiasa melatari perdagangan anak dibawah umur dengan segala bentuknya, mulai dari faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan kesalahan pola asuh yang diterima anak sehingga rentan menjadi korban perdagangan manusia yang keji serta mengancam masa depan anak-anak.
Persoalannnya semakin berlipat, ketika dunia semakin di dominasi oleh teknologi internet, terjadilah perubahan-perubahan yang sangat pesat. Kalau di era globalisasi tahun 1990 muncul tuntutan penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang kemudian melahirkan corak berpikir pada keamanan dan kesejahteraan individu (individual security and prospherity) di era pasca globalisasi sekarang ini corak berpikir itu telah bergeser menuju kedaulatan individu (individual souvereignty)
Pada masa kini, dunia telah memasuki tatanan dalam lingkup metaverse, sebuah komunitas virtual tanpa batas yang saling terhubung, dimana orang bisa bertemu dan berdagang/ mencari uang dengan menggunakan aplikasi telepon pintar. Puncak labirin perkembangan teknologi dan laju inovasi yang luar biasa pesat itulah,pemicu utama munculnya corak berpikir dan sikap merefleksikan kedaulatan individu. Internet telah memicu perdagangan bercorak fundamentalisme pasar bebas atau neo liberalisme. Sebab, intensitas digitalisasi dan otomitisasi tak bisa dibendung.
Intinya, pemikiran perdagangan bercorak fundamentalisme pasar bebas (neo liberalisme) harus diubah menjadi mekanisme pasar yang lebih bertanggung jawab secara sosial dan kemanusiaaan sebagai habitus baru yang terjabarkan dalam kebijakan politik- ekonominya. Semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan negara yang mampu menyejahterakan rakyatnya.
Perkara problematika tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang semakin riuh membawa kecemasan,dan memicu level pengangguran melesat tinggi di berbagai negara termasuk di negara maju/ mapan seperti di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Fenomena ini menegaskan,sebagian rakyat di negara berkembang terancam hidup dibawah garis kemiskinan, sementara ada sekelompok lainnya yang hidup berkecukupan dan berkelebihan. Kelangkaan peluang kerja yang bermutu dan kegelisahan ekonomi turut memperbesar kelompok ekstrem yang melahirkan TPPO yang mengganggu stabilitas sosial dan politik ekonomi antarnegara. Begitu buruknya TPPO membuatnya musuh segala bangsa, karena itu perlu mitigasi agar isue ini tak jadi ganjalan menahun yang tak kunjung sirna. Jangan sampai gagal menciptakan peluang generasi muda yang produktif pada Tahun 2045, karena saat itu Indonesia mengalami keuntungan demografi dimana struktur penduduk produktif lebih besar dibandingkan non produktif. Kaum milenial dengan rentang usia 15-30 tahun mendominasi, yakni mencapai 25 persen,perlu pembangunan manusianya dengan program yang inspiratif karena hal itu merupakan cara terbaik untuk menghubungkan kebutuhan tersebut.
Pada kesempatan yang sama, kita harus memaspadai ancaman semarak TPPO yang menguantifikasi segala hal dalam perhitungan untung-rugi jangka pendek,menegaskan segala hal diukur dan ditukar dengan uang, sehingga masuk dalam ancaman kerentanan yang mendorong terjadinya perbudakan.
Membicarakan perbudakan seperti melangkah mundur ke lorong waktu di masa lampau. Dunia mencatat perbudakan diperkirakan sudah ada sejak 8.000 tahun sebelum Masehi (SM) di kawasan Mesir. Kala itu sistem kerja perbudakan adalah sah. Bahkan, Raja Babilonia Hammurabi (1792-1950 SM) mengeluarkan aturan, seseorang yang membantu budak melarikan diri bisa dijatuhi hukuman mati. Di Amerika Serikat (AS) perbudakan dihapuskan secara sah melalui perubahan Konstitusi AS tahun 1865. Perbudakan juga terjadi di sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara. Pada kurun waktu 1450-1680, sebagian penduduk menyerahkan diri menjadi budak, dan diperdagangkan sebab tak bisa memenuhi kebutuhan perekonomian hidupnya, termasuk untuk makan sehari-hari. Perbudakan menjadi sistem kerja yang sah pernah terjadi di Nusantara pada periode 1400-1700. Tidak ada catatan pasti kapan penghapusan sistem perbudakan di Nusantara maupun di kawasan Asia Tenggara, tetapi diperkirakan terjadi pada abad ke-18. Namun, kenyataannya hingga kini perdagangan manusia itu tidak pernah sirna,masih saja terjadi,bahkan antar negara dan secara terang-terangan melanggar hukum. (Bersambung)