Perdagangan Orang Musuh Segala Bangsa (Bagian 2)
Pekerja Migran Di Bawah Bayang-Bayang Ketidakpastian
Problematika pekerja migran terus terjadi. Apa hendak dikata, komitmen regulasi baru sebatas retorika. Masih segar dalam ingatan, pada Februari 2023, delapan perempuan asal NTB berhasil diselamatkan dari TPPO. Delapan perempuan asal Lombok dan Sumbawa itu mengaku awalnya dijanjikan sebagai terapis di Turki. Namun, kenyataaannya mereka dikirim ke Irak sebagai pekerja rumah tangga. Pada bulan yang sama seorang perempuan Lombok utara, dipulangkan dari Arab Saudi karena diduga menjadi korban TPPO. Di negara itu, ia diduga disekap dua bulan.
Awal Mei 2023 lalu, 20 orang warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perdagangan manusia di Myanmar, yang juga anggota ASEAN, meskipun sulit karena Myanmar sedang dilanda konflik, akhirnya bisa diselamatkan. Pada Desember 2021, sebanyak 14 warga NTB juga menjadi korban tewas dalam kecelakaan kapal pengangkut pekerja migran indonesia (PMI) ilegal di perairan Johor, Malaysia. Belakangan sindikat perdagangan orang diduga sengaja menenggelamkan perahu itu guna mengelabui aparat.
Kasus PMI ilegal terus berulang, karena kasus itu lahir dari rahim “kemiskinan”. Seperti pada masa lalu, seseorang mau menjadi budak karena terjerat kemiskinan dan ketiadaan pekerjaan. Kini, kondisi serupa terjadi ketika ada ajakan penyalur atau perusahaan menawarkan gaji besar bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran, banyak yang tergoda utamanya perempuan karena butuh uang untuk menyambung hidup. Penderitaannya bertambah saat terjadinya pernikahan dini (aturan usia pernikahan minimal 19 tahun) kemudian bercerai dan menanggung anak meminta dispensasi kawin melalui pengadilan agama. Rendahnya pendidikan membuatnya belum bisa berpikir jernih, sementara anak-anak yang dinikahkan rata-rata putus sekolah di Sekolah menengah pertama dan atas. Pengadilan Agama di Tasikmalaya dan Garut,Jawa Barat misalnya, terus menerima dispensasi kawin (Kompas, 1 Februari 2023). Anak-anak yang dinikahkan rata-rata putus sekolah di sekolah menengah pertama dan atas. Sedangkan sekitar 50 % calon suami mereka merupakan buruh serabutan. Ada lagi, sekitar 70-80 persen anak yang ingin dispensasi kawin sudah hamil 3- 6 bulan. Hakim sulit menolaknya sebab kalau anaknya hamil sebelum nikah, itu menjadi aib bagi keluarga dan takut melanggar norma adat dan agama. Belum lagi adanya kekhawatiran orang tua jika anaknya terjerumus dalam pergaulan berisiko juga menjadi alasan pengajuan dispensasi kawin. Lebih dari itu, ada lagi yang terkait calo bayi adopsi anak yang gentayangan lewat medsos cari “cuan” karena adanya hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply).
Diantara yang bernada keputusasaan yang pesimistis tidak sedikit pula dirasakan bisikan yang menghembuskan harapan dan optimisme kembali ke jalan yang benar. Tak terbantahkan,butuh regulasi dan peran sejumlah pihak, utamanya menanti kehadiran Negara, pemuka adat dan agama untuk mencegah perkawinan dini, serta mencegah keterpurukan anak-anak masuk ke perbudakan karena kemiskinan ekstrem.
Setelah Reformasi tahun 1998, kita tahu lahirnya perlindungan anak dan perempuan sebagai ikhtiar sistem kontrol supaya kekuasaan tidak disalah-gunakan oleh pejabat publik/aparat penuh drama dan kekonyolan dari kehidupan absurditas. Pemerintah mendorong perempuan dan anak di Tanah Air agar memiliki literasi digital. Bekal literasi digital dibutuhkan untuk membantu perempuan dan anak dalam berselancar di dunia digital dan media sosial (medsos). Tetapi alih-alih menjadikan pembangunan manusia melalui medsos sebagai prioritas, orang-orang malah sering memarodikan tabiat pejabat publik/aparat penegak hukum Indonesia ibarat keledai yang hobinya terperosok di lubang yang sama. Pembahasan isue kemiskinan di media arus utama maupun medsos sebagai biang keladi perdagangan orang menjadi bahasan yang terus berulang hingga sekarang ini.Namun, isu ini “bak” angin lalu, lebih-lebih di tengah ingar-bingar politik jelang pemilu.
Berdasarkan metode yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 1998, atau 25 tahun lalu, penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada September 2022, garis kemiskinan Rp 535.547 per kapita per bulan. Dengan demikian, penduduk dengan pengeluaran dibawah Rp 535.547 per kapita per bulan atau sekitar Rp 17.851 per kapita per hari termasuk penduduk miskin. Akibatnya, pada September 2020, ada 27,55 juta penduduk miskin di Indonesia. Jumlah ini bertambah 2,76 juta orang dari September 2019.
Menghadapi guncangan kemiskinan itu membawa konsekwensi berbagai penduduk negeri seperti dari propinsi NTB, Jawa Barat dan propinsi lainnya tergoda menjadi pekerja migran ke luar negeri menjemput “devisa” yang menggiurkan. Singkatnya, mereka berduyun-duyun menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) menuju negara tetangga Malaysia, Singapura hingga jazirah Timur Tengah merajut dan menyemai mimpi supaya anak-anak mereka berdaya merajut masa depan yang lebih bermartabat. Namun, fakta di lapangan, tidak sedikit dari mereka yang terlunta-lunta di negeri orang tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Inilah gambaran bagi kehidupan kita, bahwa banyak hal dalam hidup ini menuntut perjuangan hidup disebabkan oleh tantangan hidup yang sulit, kemiskinan yang mendera, lapangan kerja yang mengecewakan, serta obsesi untuk hidup lebih baik dan bermartabat. Obsesi inilah yang membawa sebagian orang ke titik nadir menghalalkan segala cara termasuk PMI ilegal berakhir pada TPPO untuk merealisasikan impiannya. (Bersambung)