PERSAUDARAAN SEGALA CIPTAAN (BAGIAN 5)
Ekonomi Bunuh Diri.
Ekonomi pasar bebas mengidap cacat bawaan, karena bertolak dari asumsi bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang siap melayani diri sendiri, sekaligus siap mengancam keberadaan yang lain; manusia lain dan mahluk lain. Ekonomi pasar bebas menyuburkan pola pikir dan perilaku egois dan hedonis. Individu dan perusahaan di motivasi oleh kepentingannya masing-masing dan setiap orang berhak memiliki sesuatu dan dapat memperjual-belikannya di pasar. Ekonomi pasar bebas beranggapan bahwa masyarakat manusia adalah kumpulan individu-individu egois dan serakah. Ekonomi pasar bebas mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial yang sangat menyakitkan dan memalukan; mengakibatkan penganguran dan kemiskinan luas.
Manusia tampaknya tidak pernah belajar sungguh-sungguh tentang bumi; tentang tanggungjawab manusia di bumi ini; tentang berpikir dan bertindak untuk kehidupan berkecukupan bagi segala mahluk, dan tentang keselamatan bumi; tampaknya manusia belum siap jadi penghuni bumi yang bertanggungjawab. Manusia mampu berpikir dan membuat alat; mampu mengorganisir diri dan membangun kekuatan, hingga menjadi sangat kuat dan berkuasa di bumi ini; tetapi manusia tidak boleh lupa, bahwa bumi ini bukan budaknya, yang bisa dikelola sesuka hati; manusia harus selalu ingat, bahwa bumi, hewan, tumbuhan dan mikro organisme adalah mitra hidup manusia. Manusia harus mampu hidup bersahabat dengan mitra hidupnya ini; saling melayani satu dengan yang lain; kehidupan hewan, tumbuhan dan mikro organisme adalah kehidupan manusia juga; tanpa kehadiran dan kehidupan mereka, manusia akan punah. Manusia harus belajar lebih banyak tentang keadilan; bumi jangan hanya untuk memperkaya sitamak; bumi harus dibuat bermanfaat bagi seluruh manusia dan mahluk hidup lain; dan bagi bumi sendiri.
Politik, ekonomi dan ekologi, serta ilmu, teknologi dan seni, dan berbagai kegiatan manusia lainnya, harus dilihat sebagai upaya manusia, mahluk bumi yang berpikir ini untuk melestarikan kehidupan bersama. Konsep kemakmuran manusia perlu diperbarui; manusia harus mampu melihat bahwa lingkungan dan bumi lestari, seperti udara dan air bersih, lahan dan hutan lestari serta tumbuhan dan hewan liar menjalani hidup bebas dan beranak-cucu di habitatnya, sebagai kemakmuran bersama. Pemeliharaan lahan, hutan, padang rumput dan padang savana sebagai tempat hidup tumbuhan, hewan liar dan mikro organisme; demikian pula dengan air, udara, daerah aliran sungai, danau, waduk, daerah rawa, dan sebagainya harus dipelihara, bukan hanya untuk kepentingan manusia tetapi juga untuk kecukupan mahluk lain.
Manusia harus membarui pola pikir dan perilakunya tentang ekonomi; memburu kemakmuran sebanyak-banyaknya, tidak sesuai dengan hakekat kehadiran manusia di Bumi ini, walaupun kemakmuran itu disertai dengan pemerataan, karena manusia hadir di muka Bumi ini tidak untuk kepentingannya sendiri, dan oleh karena itu tidak untuk melayani dirinya sendiri. Ekonomi tidak boleh dijalankan untuk melayani keserakahan segelintir kaum tamak menumpuk kekayaannya. Negara-bangsa Republik Indonesia telah memiliki sarana untuk melawan keserakahan segelintir kaum tamak ini, yaitu UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) yang menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sayangnya, amanat UUD 1945 ini belum dijalankan oleh negara, dan oleh karena itu kaum tamak di Indonesia dengan seenak perutnya menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri, di tengah-tengah puluhan juta warga masyarakat yang terpaksa hidup miskin dan kelaparan. Mereka miskin terutama bukan karena kemalasannya, tetapi karena banyak kebijakan negara yang memberi kesempatan kepada kaum kaya menumpuk kekayaannya dengan cara-cara yang bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945; dan bersamaan dengan itu banyak pejabat negara yang memberi bantuan ilegal kepada mereka. Menyongsong Indonesia 2045 yang maju, adil dan sejahtera, Pemerintah dan masyarakat harus bergotongroyong menjalankan amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) di atas, dengan konsisten dan konsekwen; segala kekuatan yang menghambatnya harus disingkirkan, dan para pejabat kriminal serta kroninya itu harus diberi kesempatan menyesali tindakannya itu di dalam penjara. (Bersambung)