Sekjen HKBP: Kematangan Emosi dan Spiritual Penentu Kualitas Pelayanan
Sekjen HKBP Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST menyampaikan pentingnya teachable servant. Hal itu ia sampaikan dalam pemaparannya yang dipandu Praeses Bernard Manik sebagai moderator, pada acara Seminar dan Workshop Profesionalisme dalam Penatalayanan HKBP Distrik VIII DKI Jakarta yang diselenggarakan di Hotel Bumi Wiyata Depok, Rabu (22/3/2023).
“Kita harus mampu menjadi pelayan yang dengan rendah hati tetap siap sedia memperlengkapi diri, belajar, bercermin, berubah dan berbuah demi pelayanan yang semakin baik, semakin berkenan di hadapan Tuhan,” kata Sekjen.
Hal itu berangkat dari uraian tugas pelayanan atau poda tohonan yang tertulis dalam Agenda HKBP. Dari setiap poda tohonan, ada 3 inti pokoknya yaitu bahwa tohonan adalah pemberian Tuhan, penerima tohonan harus memiliki karakter yang teruji dan terpuji dan yang terakhir memiliki keterampilan atau kompetensi melayani.
Oleh sebab itu, Sekjen mengajak peserta seminar yang terdiri dari pendeta resort, pimpinan jemaat, majelis perbendaharaan dan bendahara untuk bercermin agar memahami tingkat kedewasaannya masing-masing.
“Kita perlu melihat ke dalam diri, di tingkat emosi yang mana kita berada,” kata Sekjen.
Mengutip tulisan Peter Scazzero, Emotionally Healthy Spirituality, Sekjen menerangkan ada 4 emosi yang sering tampak dalam hidup pelayan di tengah gereja.
Emosi bayi. Ciri-cirinya adalah masih meminta orang lain untuk menjaganya, sulit masuk ke dalam dunia orang lain, didorong oleh kebutuhan untuk mendapat kepuasan langsung dan menggunakan orang lain sebagai objek pemuasan kebutuhan mereka.
Emosi anak kecil. Puas dan senang selama menerima apa yang diinginkan. Cepat menjadi stres, kecewa dan jatuh dalam godaan. Menganggap perbedaan pendapat sebagai serangan pribadi. Mudah terluka. Mengeluh, menarik diri, memanipulasi, membalas dendam, menjadi sarkastis ketika keinginan tidak dituruti. Sulit untuk membahas dengan tenang kebutuhan dan keinginan secara dewasa dalam kasih.
Emosi remaja. Cenderung membela diri, terancam gelisah ketika dikritik, menghitung yang diberikan agar bisa mendapat balasan, buruk dalam menghadapi konflik, sibuk dengan diri sendiri, sulit mendengar penderitaan orang lain dan memiliki sifat kritis serta menghakimi.
Emosi orang dewasa. Mampu meminta apa yang mereka butuhkansecara jelas, langsung dan jujur. Mengenali, mengatur dan bertanggungjawab atas semua pikiran dan perasaannya. Ketika berada dalam tekanan, bisa menyatakan semua kepercayaan dan nilai mereka dengan jelas tanpa bersikap bermusuhan. Menghargai orang lain tanpa harus mengubah mereka. Memberi tempat bagi kesalahan dan ketidaksempurnaan orang lain. Menghargai orang sebagaimana adanya mereka. Bisa menilai keterbatasan, kekuatan dan kelemahan diri sendiri dengan akurat dan mampu membahasnya dengan orang lain. Memiliki kapasitas untuk menyelesaikan konflik secara dewasa dan menegosiasi solusi yang juga mempertimbangkan sudut pandang orang lain.
Melalui ciri-ciri emosi itu, Sekjen berharap setiap pelayan dapat bercermin dan melihat dengan jernih dirinya sendiri di tengah pelayanannya, sebab meski dari usia sudah dewasa, tetapi ada kalanya masih berada di emosi bayi, anak kecil dan remaja.
Melalui pemaparannya, Sekjen mengajak setiap peserta untuk dapat bertumbuh dan lebih dewasa sehingga dapat menunjukkan pelayanan yang lebih profesional ke depan.
“Tingkat kematangan secara emosi, tingkat kematangan secara spiritual itulah yang menentukan kualitas pelayanan kita,” pesan Sekjen.