Sisi Lain Perempuan Batak

 Sisi Lain Perempuan Batak

St. Ny. Dewi Mangunsong – Siahaan (Umur 74 Tahun)

Ada anekdot yang berbunyi seperti ini, “Mengapa Ketika Yesus memberi makan lima ribu orang ada sisa dua belas keranjang?”. Jawabnya sederhana, “Karena pada saat itu tidak ada ibu-ibu Batak yang hadir. Jikalau ada, semua sisa makanan dimasukkan ke dalam plastic. Beres semua!”.

Hampir di setiap acara makan-makan orang Batak tidak terlepas dari bungkus-membungkus. Alasannya sederhana, umumnya karena sayang anak, cucu, dan suami. Mungkin di suku lain kebiasaan ini juga ada, tapi bagi orang Batak ini sudah sangat melekat.

Ada pantun yang terinsipirasi dari kebiaaan bungkus-membungkus ini, “Tujuh belas Agustus hari Kemerdekaan. Horas na mambungkus, tu gabe na mangalehon”. Artinya adalah suka cita yang membungkus, yang memberi pun semakin berlimpah berkatnya. Tentu itu sangat lazim, karena jika tuan rumah memiliki makanan sisa setelah selesai acara maka tamu yang hadir pun akan mendapat suka cita membawa bungkusan. Namun pemandangan yang sering kita temui di pesta atau acara Batak adalah ketika di meja makan ada orang yang sedang makan, ada saja yang sigap memasukkan sisa makanan ke dalam plastik. Ini mungkin tidak elok dilihat, alangkah baiknya jika kita membungkus setelah acara makan selesai. Saya sendiri sebagai perempuan Batak, selalu membawa plastik bersih di tas jika ada sisa makanan yang bisa saya bawa pulang. Tak jarang, teman-teman atau kerabat yang kebetulan yang duduk di sebelah atau sekitar saya meminta plastik yang selalu saya bawa lebih.

Kelebihan perempuan Batak juga dikenal dengan sifat yang gigih dan berani. Seperti pada penggalan lagu dari “Anakkokhi do Hamoraon di Ahu” karya Nahum Situmorang, karakter orang Batak digambarkan gigih menyekolahkan anaknya walau tidak dapat berbaju wol, nilon, dan jam tangan seperti yang dikenakan teman-temannya, juga mobil sedan sampai berlian.

Ai tung so boi pe ahu marhonda

Marnilon mar jam tangan

Tarsongon dongan-dongan hi da

Mar sedan mar berlian

Alai sude nang gelleng hi da

Dang jadi hahurangan

Anakkon hi do hamoraon di ahu

Karakter kuat dari perempuan Batak saya temui juga pada peristiwa yang sampai sekarang masih dalam tahap persidangan, yaitu kasus almarhum Brigadir Yosua Hutabarat. Kegigihan dan keberanian perempuan Batak khususnya pada sosok sang Ibunda almarhum dan adik-adiknya.  Inang Uda dari almarhum menuliskan rangkaian kejanggalan peristiwa itu di media sosial karena nalurinya mengatakan ada yang sedang ditutupi dari kejadian tersebut. Seorang pengacara ternama marga Simanjuntak mulai mencium ada sesuatu dan turun tangan untuk mencari fakta. Yang awalnya diberitakan terjadi peristiwa tembak-menembak terbongkar menjadi peristiwa penembakan dan pembunuhan.

Saya menyimak wawancara jurnalis Kompas TV dengan Ibunda Brigadir Joshua di acara “Rosi” dengan penuh haru dilanjutkan dengan wawacara dengan adik-adik Ibunda. Kegigihan mereka sangat patut dipuji, tidak takut ancaman karena benar. Nada yang tegas, logat Batak yang kental, berani, apa adanya, menjadi ciri khas perempuan Batak yang saya lihat dari wawancara tersebut. Melihat mereka dengan lugas menjawab pertanyaan dan menceritakan apa yang terjadi, seolah mengajak saya dan juga perempuan Batak lainnya untuk tetap membela keadilan beralaskan kebenaran. Tidak malu dan tetap semangat, menegakkan keadilan dan kejujuran.

Sebagai seorang Ibu, saya turut berempati dan merasakan duka yang mendalam atas apa yang dialami Keluarga besar almarhum Brigadir Joshua atas kepergian sang anak untuk selamanya.

Selamat Hari Ibu!

Jakarta, 19 Desember 2022

St. Ny. Dewi Mangunsong – Siahaan

    Related post