Transformasi Di Tengah Ketegangan Politik Dan Ekonomi Dunia (Bagian 1)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit
Rupiah dan pasar saham anjlok di perdagangan perdana Selasa (8/4/2025) pasca libur panjang usai Lebaran Idulfitri 1446 H.
Rupiah melemah menyentuh level Rp 17.000, an, tepatnya Rp 17.050/ dollar AS. Anjloknya rupia ini ditengarai dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, arah kebijakan bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) yang cenderung lebih ketat (hawkish) dan gejolak geopolitik. Hal itu membuat kurs dolar AS menguat terhadap sebagian besar mata uang lain dan imbal hasil obligasi pemerintah AS.
Pada hari yang sama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia terus mengalami tekanan signifikan. Pasar saham Indonesia baru dibuka Selasa (8/4/2025) sudah sempat menghentikan perdagangan sementara (trading halt) setelah Harga Sahan Gabungan terkoreksi 9,19 persen ke level 5.912,06 menjauh dari zona 6.000-an. Pelemahan IHSG sejalan dengan harga saham di seluruh sektor (material dasar, teknologi, dan konsumsi) yang bergerak di zona merah. Pemicu IHSG ambruk adalah gonjang-ganjing kebijakan Trump yang memicu ketegangan perdagangan dunia. Kita tahu bahwa pasar modal seringkali menjadi cerminan ekspektasi investasi terhadap prospek ekonomi suatu negara,termasuk Indonesia.
Ketidakpastian global menjadi salah satu faktor utama yang membayangi pergerakan merosotnya IHSG yang mengancam perekonomian kita. Dampaknya bisa meluas di berbagai sektor, mulai dari investasi hingga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Selain faktor suku bunga, ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia menyebabkan harga komoditas unggulan Indonesia, seperti batubara dan minyak kelapa sawit melemah. Melemahnya permintaan global terhadap produk Indonesia berisiko mengurangi penerimaan devisa dan memperlemah daya tahan ekonomi nasional.
Merespons hal ini, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani mengatakan, “Alarm ekonomi global telah berbunyi, tetapi jangan panik”.
Namun, rupiah nyatanya tidak hanya terbebani oleh sentimen dagang Trump. Faktor domestik juga ikut menambah beban pergerakan mata uang Indonesia hingga mencatat performa lebih buruk dibandingkan mata uang negara lainnya.
Palu godam kebijakan baru tarif diumumkan pada Rabu (2/4/2025), oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump tentang tarif resiprokal yang disebutnya sebagai “Hari Pembebasan” (Liberation Day) ternyata membuat keadaan makin runyam. Bahwa semua negara mitra dagang AS akan dikenai tarif bea masuk sebesar 10 persen per 5 April. Untuk Indonesia tarif resiprokal yang dikenakan sebesar 32 persen, menempati posisi tertinggi ke-6 di kawasan Asia Tenggara yang resmi berlaku mulai 9 April 2025.
Ini menjadi langkah proteksionis AS mengingatkan kita pada era tahun 1930-an, saat perang dagang (trade war) terjadi menjelang Depresi Besar (Great Depression). Kini, Trump mengulang kembali langkah poteksionis ini dengan tagline, MAGA (Make America Great Again). Hal ini menjadi ancaman terhadap penurunan ekspor. Untuk menyikapi dampak penerapan baru tersebut, pemerintah Indonesia akan menyiapkan sejumlah strategi untuk _bernegosiasi_ dengan pemerintah AS untuk meredam dampak tarif resiprokal ini. Pemerintah Indonesia akan menaikkan volume impor sejumlah bahan baku dari AS sebagai alat negosiasi tarif sambil menyiapkan _Reformasi_ perpajakan dan memperkuat kemandirian ekonomi.
Kita tahu selama ini, industri tekstil, garmen, meubel, alas kaki dan kerajinan Indonesia lainnya termasuk di sektor perikanan volume ekspor ke AS sudah sangat besar.
Tapi itu tidak cukup, pengusaha kita seyogianya punya long term planning untuk membuka pasar ekspor baru agar tidak tergantung hanya ke satu pasar saja. Pasar ekspor baru dimaksud bisa saja ke Afrika, Timur Tengah disamping pasar domestik yang begitu besar bisa menjadi peluang bagi pengusaha Indonesia.
Pada forum internasional ada perubahan signifikan dalam hubungan antarnegara yang sebelumnya sudah mapan sejak berakhirnya Perang Dunia II. AS dan Eropa kini hubungannya merenggang, dan China terus menerus melawan dominasi dagang AS. Perdagangan minyak dan pembatasan ekspor-impor bisa jadi menjadi bagian dari senjata ampuh antarnegara untuk saling menjegal.
Turbulensi pasar global masih diperparah berkecamuknya perang antara Rusia- Ukraina, antara Israel- Iran dan Palestina. Maka kita pun didorong belajar dari pengalaman negara-negara menghadapi gempuran masalah semacam itu.
Pada Oktober 2024, HSBC mengeluarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi di ASEAN. Vietnam menduduki peringkat pertama, yakni 6,5 persen, selanjutnya Filipina 6,4 persen dan Indonesia 5,3 persen.
Melihat pesatnya pertumbuhan ekonomi Vietnam, menarik menilik bagaimana mereka bisa melaju seperti itu. Ternyata, pada awal 1980-an, pemimpin Partai Komunis China (PKC), Deng Xiaoping melakukan modernisasi partai dengan transformasi membuka pasar ekonomi China ke dunia dan efeknya positif pada pertumbuhan ekonomi “Negeri Tirai Bambu” itu. Kemudian, pada tahun 1986 Nguyen Van Linh, Sekjen Partai Komunis Vietnam (PKV) memperkenalkan dengan konsep transformasi yang dalam bahasa Vietnam disebut “doi moi” yang berarti perubahan. Pada dasarnya, pembaruan ini bukan saja di sektor ideologi politik, melainkan lebih dominan dilakukan untuk kemajuan ekonominya. Mereka pun melakukan pembaruan Undang-Undang pro-investasi. Tanpa kemampuan beradaptasi, Vietnam tidak akan bertransformasi maju seperti sekarang ini.
(Bersambung)