Transformasi Di Tengah Ketegangan Politik Dan Ekonomi Dunia (Bagian 2)

 Transformasi Di Tengah Ketegangan Politik Dan Ekonomi Dunia (Bagian 2)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Bagaimana dengan Indonesia?

Tertekannya nilai tukar rupiah, amblasnya pasar saham, serta anomali APBN menjadi alarm bagi pemerintah untuk bertindak guna mewaspadai memburuknya indikator perekonomian. Pelemahan rupiah yang masif terhadap hampir semua mitra dagang akan berdampak pada perekonomian secara luas.

Konstruksi transformasi menjadi tidak ideal dan rumit,karena banyak pihak berkepentingan disitu. Seringkali  berhadapan dengan tembok zona nyaman oligarki sehingga bersifat anomali yang mengikis kepercayaan pasar.

Lalu, seputar pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara alias BPI Danantara. Ada sejumlah isu, dari rangkap jabatan sampai konflik kepentingan,yang dikhawatirkan berdampak pada kepercayaan pasar.  Berkelindan pula dengan  kekhawatiran akan kelesuan aktivitas ekonomi di tengah penurunan daya beli masyarakat dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang membesar. Ditambah lagi penurunan peringkat investasi saham RI dari berbagai bank-bank investasi dunia. Sampai dengan tensi politik yang memanas seiring penolakan publik yang menguat terhadap pengesahan UU TNI.

Di saat dunia bisnis  sibuk mengejar inovasi, hilirisasi dan transformasi digital demi memenangkan kompetisi,Indonesia justru terperangkap dalam korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela. Gejolak di pasar keuangan pun berdampak negatif terhadap citra positif Indonesia sebagai negara layak investasi. Investor menilai potensi keuntungan di Indonesia semakin menurun akibat adanya premanisme. Premanisme yang terjadi di sektor industri menyulitkan pengusaha menjalankan bisnisnya. Praktik ini terindikasi melibatkan ormas, aparat pemerintah hingga penegak hukum. Tindak pidana premanisme bukan masalah hukum semata melainkan telah menjadi ancaman dalam membangkitkan sektor industri.

Tanpa perbaikan struktural dan pendekatan teknokratis dalam kebijakan pemerintah, berbagai resiko bisa muncul dan status layak investasi atau investment grade pun menjadi taruhan. Sementara ada yang lebih penting untuk segera ditangani yakni nasib industri, perdagangan dan ekonomi negara, karena hal itu memengaruhi kehidupan rakyat banyak. Dari sudut pandang inilah diperlukan transformasi di tengah gejolak karena kedaulatan ekonomi kita sesuai cita-cita kemerdekaan kita mestinya tidak tergantung pada ekonomi atau kekuatan asing.

Di lain pihak, butuh orkestrasi besar untuk pemerintahan Indonesia saat ini,untuk menghadapi sejumlah program yang dinilai baik dan menjanjikan bagi penguatan fondasi ekonomi nasional, terlepas dari berbagai kritik yang muncul terhadap program-program tersebut. Seperti, makan bergizi gratis (MBG), hilirisasi sumber daya alam (SDA), program 3 juta rumah,penguatan UMKM dan ekonomi lokal, intensifikasi pertanian dan swasembada pangan, serta revitalisasi desa dan pertanian. Jika dilaksanakan dengan disiplin dan efektif, semua itu berpotensi meningkatkan daya saing ekonomi masyarakat dan memperkuat kepercayaan investor, serta bertransformasi menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. 

Sebagaimana biasanya, setiap transformasi akan berhadapan dengan kendala-kendala teknikal, profesionalitas, dan integritas. Proses transformasi ini harus terus berlangsung secara inklusif (inclusive), dan berkelanjutan (suistanability)

Tarif Trump: Momentum Transformasi bagi Indonesia.

Secara normatif perekonomian negara merujuk pada Pancasila dan UUD 1945, namun faktanya Indonesia saat ini berwatak liberal ala Barat. Meng -copy paste ekonomi yang didasarkan perdagangan bebas yang disertai praktik oligarki, dan perilaku transaksional. Sedangkan ekonomi kerakyatan  tidak lebih dari sekadar komplementer belaka. Padahal Pasal 33 UUD 1945, sistem perekonomian Indonesia adalah kekeluargaan dan gotong royong dengan tujuan menciptakan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia memiliki eksistensi transformasi yang harus dibangun “jiwa dan raganya”, sebagaimana bait lagu “Indonesia Raya” gubahan WR Soepratman.

Transformasi dimaksud   “mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang berbeda”,menyiratkan perubahan besar dalam bentuk, sifat, atau fungsi. Sedangkan transformasi diri melibatkan perubahan hidup kita dalam berpikir, berperilaku, dan pandangan hidup yang dapat membawa kita pada kehidupan yang lebih baik.

Menjadi menarik untuk disimak tema HKBP Tahun 2025 ini ditetapkan  sebagai “Tahun Transformasi”, sehingga misi HKBP, “Menjadi Berkat Bagi Dunia” dapat terwujud. 

Surat Rasul Paulus dalam Roma 12: 12b, “Berubahlah oleh Pembaruan Budimu”, merupakan pengantar umum untuk nasihat dan dasar etika Kristen selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari. Dari nats diatas, Rasul Paulus memberikan dua perintah, yang pertama dalam bentuk negatif, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini” dan yang kedua dalam bentuk positif, “berubahlah oleh pembaruan budimu”, merupakan inner transformation, or better, and a transformation which works from inside outwwords

Transformasi pemulihan etika Kristen menjadi “ciptaan baru” bertujuan untuk meningkatkan SDM berkarakter unggul dan mentransformasi kesejahteraan rakyat.

Untuk jernihnya pikiran dalam mengambil keputusan, apa langkah ke depan,kita sejenak menoleh ke belakang. Sejak Perang Dingin (Cold War) dimulai akhir 1940-an, dunia pada umumnya terbelah ke dalam dua blok besar yakni kapitalisme dibawah kepemimpinan AS dan sosialisme di bawah Uni Soviet.

Namun, dengan berakhirnya Perang Dingin di akhir 1980-an dan awal 1990-an, maka terjadi perubahan dalam hubungan ekonomi global yaitu mekanisme pasar atau perdangan bebas yang sering disebut Liberalisme.

Ini pula yang menjelaskan, mengapa sejak era Reformasi 1998 kebijakan- kebijakan ekonomi Indonesia lebih berorientasi pasar dengan terbitnya Undang-undang Omnibus (Omnibus Law) dalam upaya “membujuk dan memanjakan” investasi asing agar tertarik menanamkam modalnya di Indonesia.

Pertanyaan yang muncul kemudian,apakah dengan UU yang bersifat market friendly itu modal asing telah datang secara masif ke Indonesia?

Jika pertanyaan itu harus dijawab, kita menemukan fakta bahwa sepanjang satu dekade ini, modal yang menghampiri Indonesia, terkonsentrasi di sektor padat modal (capital intensive) daripada padat karya (labor intensive). Ini dapat memperjelas, mengapa yang terjadi justru gejala deindustrialisasi dan sebagai konsekwensinya, mengurangi daya serap tenaga kerja di Tanah Air.

Maka, jika pengusaha terimbas  pasca kebijakan Trump jelas menjadi hambatan dan rintangan terhadap sektor industri serta ancaman nyata terhadap kehidupan bangsa dan negara.

Kini AS, sang promotor perdagangan bebas justru memelopori proteksi. Liberalisme pun kini mempertontonkan paradoksnya. Orang pun bertanya, bagaimana memahami yang paradoksal ini?

Persepsi para pakar melihat ada pemburukan di sektor ekonomi, bisnis di dalam negeri yang mendatangkan petaka ekonomi bagi bangsa secara keseluruhan sehingga diperlukan   tindakan/intervensi pemerintah didukung  komunikasi yang baik untuk meredam gejolak, diantaranya mendorong transformasi  modernisasi, dan digitalisasi serta memperkuat kemandirian ekonomi.

Oleh karena itu,penerapan tarif impor  baru sebesar 32 persen oleh AS kepada Indonesia selayaknya menjadi momentum menjadi peluang untuk transformasi menghidupkan industri hilir dalam negeri.

Sebagaimana diketahui, selama ini komoditas unggulan pertanian dan perkebunan dalam negeri unggul di pentas dunia.

Namun, hampir semua diekspor dalam bentuk bahan mentah yang tidak bisa bertahan lama.

Misalnya, sawit dikirim dalam bentuk minyak sawit mentah (CPO). Begitu juga karet diekspor dalam bentuk karet remah (crumb rubber).

Ketika ada kenaikan tarif impor dari negara lain posisi Indonesia menjadi sulit, karena kita masih terlalu bergantung pada ekspor produk mentah yang tidak awet.

Kita tahu, Indonesia produsen terbesar di dunia untuk komoditas sawit dan produsen kedua terbesar di dunia untuk komoditas karet. Begitu juga penjualan komoditas ekspor batubara dan nikel ke China, semuanya berupa barang mentah.

Terlepas dari itu, AS merupakan mitra dagang kedua Indonesia. Rata-rata kontribusi AS ke total ekspor Indonesia sekitar 10,3 persen.

Di saat tarif resiprokal diimplementasikan, ekspor Indonesia baik ke AS maupun mitra dagang lainnya, diperkirakan turun 2,83 persen. Entah disadari atau tidak, pertumbuhan ekonomi yang menyengsarakan atau “immuserizing growth”, terjadi bukan sekadar melemah akibat tekanan global, melainkan juga dilemahkan dari dalam. Langkah untuk  mendorong perluasan pasar ekspor Indonesia, selain ke AS perlu diperluas sembari mendorong penguatan industri dalam negeri dan investasi. Anehnya, semua tahu itu dan sudah lama orang bicara tentang hal itu. 

(Bersambung)

    Related post